Tatacara Pemulasaraan Jenazah Covid-19
Sekilas Tentang Kemuliaan Manusia
Sahabat syariatkita, islam sejatinya merupakan agama yang tidak hanya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia saja, akan tetapi Islam juga memuliakan makhluk lain seperti binatang dan hewan yang hidup di sekelilingnya. Islam tidak hanya memuliakan manusia yang masih hidup saja akan tetapi Islam juga menghormati manusia yang suddah meninggal.
Hal tersebut sebagaimana dalam hadis:
هَتْكُ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ،كَهَتْكِهِ حَيًّا
“Merusak kohormatan mayit sama saja merusak kehormatannya sewaktu masih hidup”
Atas dasar itu lah, maka seseorang yang sudah meninggal juga harus diperlakuan memperlakukannya seperti masih hidup. Artinya ketika kondisi masih hidup, ada hal hal yang dapat membuat badan kita sakit seperti ketika terpukul terinjak, dan kita tidak senang merasakannya, maka sama kondisinya ketika kita memperlakukan orang yang sudah meninggal. Sehingga dalam memandikan jenazah, kitapun berkewajiban menjaga kehormatannya. Memperlakukannya dengan pelan, menutup auratnya, meletakkannya di tempat yang tinggi agar tidak terkena percikan air najis sewaktu memandikan dan lain sebagainya.
Selain dari pada itu, setalah memandikan mengkafani dan mensholati lalu memnguburkannya juga harus diperlakukan dengan sebaik mungkin. Karena melakukan hal-hal sebagaimana di atas adalah termasuk bagian dari menjaga kemuliaan mayit atau orang yang sudah meninggal.
Dari hadis dan pengertian sebagaimana di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa apapun yang terjadi pada diri yang bernama “manusia” baik itu sudah meninggal ataupun masih hidup, maka Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa memuliakanya. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna” (Q.S. Al-Isra': 70)
Hak Mayit dan Orang yang Masih Hidup
Islam adalah agama yang mengedepankan kemaslahatan, baik kemaslahatan individu ataupun kemaslahatan kelompok, baik kemaslahatan orang yang masih hidup dan kemaslahatan orang yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam pemuliaan terhadap jenazah juga harus memperhatikan hak-hak yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu penting sekali kita memahami dalam menyikapi antara hak orang yang masih hidup dan hak orang yang sudah meninggal. Adapun hak-hak tersebut antara lain meluputi hak Allah Subhanahu Wata’ala, hak si mayit, dan hak ahli waris.
Yang berarti dalam memuliakan dan memperlakukan “manusia” baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal, maka ada tata norma dan batasan-batasan yang harus dicermati dan dipahami. Ini artinya pemuliaan terhadap seseorang haruslah sesuai dengan hak-haknya masing-masing, dan tidak boleh melanggar batasan hak orang lain.
Adapun ketiga hak sebagaimana disebutkan di atas adalah:
- Hak Allah Subhanahu Wata’ala. Hak Allah Subhanahu Wata’ala adalah pakaian yang menutup aurat si mayit
- Hak si mayit. Hak mayit adalah satu lapis kain yang menutup anggota tubuh
- Hak ahli waris. Hak ahli waris adalah kain yang tidak melebihi 3 lapis
Lantas yang jadi permasalahan sekarang adalah bagaimana jikalau dengan menjaga kehormatan mayit akan tetapi dipihak lain ada hak lain yang hilang karenanya. Bagaimana kita menyikapinya, berikut say ailustrasikan contohnya untuk Anda:
Contoh Kasus Pertama
Ada anak yang ditinggal mati oleh ibunya dan semasa hidup ia sangat cinta kepadanya. Ia ingin memberikan penghormatan terbaik kepada ibunya yang sudah meninggal tadi, ingin membelikan kain kafan yang bagus, dan perlakuan terbaik lain untuk ibunya yan gsudah meninggal tadi. Akan tetapi sekarang anak yang ditinggal mati tersebut jadilah yatim, ia belum punya penghasilan, tidak memiliki warisan, boro-boro warisan pakaian yang ia kenakan hanya yan gmelekat pada tubuhnya.
Pada kasus di atas, seseorang yang ingin melepas kecintaanya terhadap orang yang ia cintai dan memberikan penghormatan terbaik, jug aharus diimbangi dengan tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh syariat. Maka dalam hal ini pemuliaanya juga disesuaikan dengan kondisi saat itu. Kain kafan hanya yang cukup untuk menutupi tubuh si mayit, dan itu pun tidak boleh melebihi satu lapis. Karena jikalau melebihi satu lapis maka bisa jadi melanggar hak orang lain.
Contoh Kasus Kedua
Orang yang hidupnya serba pas-pasan, meninggalkan anak-anak yang sangat banyak. Dan setelah harta peninggalannya (tirkah) semua dibagikan kepada anaknya tenyata hanya cukup untu membiayayai prosesi pemulasaan jenazah saja. Anak yang ditinggalkannya pun beramai mempermasalahkan kain kafan yang hendah dikenakan kepada almarhumah ibu yang meninggalkannya. Dalam kasus ini maka dikarenakan ada hal ahli waris maka penghormatan maksimal kepada si mayit yaitu secara normatif saja, yang artinya kain kafan cukup 3 helai tidak usah ditambah baju kurung dan lain sebagainya. Itu pun harga kainnya disesuaikan dengan kesepakatan ahli waris.
Kasus lain sebagaimana dalam masalah membongkar kubur, diketahui setelah mayit dikuburkan ternyata dalam tubuh si mayit terdapat harta ahli waris; berupa perhiasan yang mereka sepakat untuk membaginya?
Dalam kasus seperti ini tentunya hukum asal membongkar makam si mayit adalah haram. Akan tetapi dikarenakan harta yang menjadi hak ahli waris dalam tubih si mayit, dan atau karena dalam tubuh si mayit menempel sesuatu yang haram, maka hukum membongkar makam menjadi mubah atau boleh, dengan illat sebagaimana di atas.
Dari beberapa contoh kasus sebagaimana di atas, maka dapat diambil pemahaman bahwa pemuliaan Allah SWT terhadap hambanya yang bernama “manusia” sekalipun sudah meninggal tetap terjaga selagi tidak ada hak orang lain yang dilanggar.
Perlakuan Terhadap Jenazah Terpapar Penyakit Menular
Kasus penyakit di tahun 2020 yang melanda seantero jagat dan memakan korban jiwa adalah virus corona Covid-19. Menurut penelitian medis, Covid-19 termasuk jenis penyakit berbahaya dan dapat menular kepada yang melakukan kontak dengan orang yang terpapar. Yang lebih berbahaya lagi jika tubuh kita tidak memiliki kesiapan memproduksi antibodi sebagaimana layaknya antibodi terhadap virus lainnya. Dalam kondisi demikian orang dapat dengan mudah tertular Covid-19.
Meski penyakit ini jika ditangani dengan baik dapat disembuhkan, namun karena sulitnya mendeteksi virus ini maka masih terdapat pasien yang belum tertangani dengan baik sehingga berujung pada kematian. Oleh karenanya, Covid-19 merupakan pandemi, yang dapat menular dengan cepat dan dapat mematikan. Sedangkan syariat mengajarkan kepada kita untuk lebih memilih tindakan preventif yang dimungkinkan resiko negatifnya lebih kecil, sebagaimana dalam kaidah ushul:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kemudharatan itu lebih diprioritaskan daripada menarik kemaslahatan”
Nampaknya kaidah di atas sangat bisa mewakili dalam menyikapi pandemi corona tersebut. Sehingga dalam menangani kasus jenazah terpapar Covid-19, yang tentu virusnya masih menempel padanya tentulah sangat berbahaya dan dapat menular kepada orang-orang yang melakukan kontak dengan jenazah tersebut. Pertanyaannya, apakah jenazah pasien Covid-19 (muslim) harus dimandikan dan dirawat sebagaimana aturan syariat terhadap jenazah biasa, dan bagaimana cara memandikan dan menguburnya?
Kendala yang muncul dalam prosesi tajhiz tertentunya, seperti pada persoalan memandikan jenazah pasien Covid-19, yang mana kalau dilakukan dengan standar normal diduga kuat dapat menimbulkan bahaya bagi yang hidup , terutama bagi yang melaksanakannya, yaitu penularan (ﺿﺮر) ) merupakan salah satu tujuan syari'at دﻓﻊ اﻟﻀﺮر) virus. Sementara menolak bahaya.
Oleh sebab itu, ketentuan tajhizul janazah (pemulasaraan jenazah) pasien Covid-19 adalah sebagai berikut:
- Bahwa Covid-19 merupakan wabah (tho'un), karena itu orang yang meninggal akibat Covid-19 statusnya adalah syahid fil akhiroh. Sebab kedudukan syahadah (mati syahid) tidak hanya didapat oleh mereka yang gugur di medan perang. Mereka yang meninggal karena wabah penyakit (tho'un) juga dapat meraih kedudukan syahadah. Sebagaimana hadits dan keterangan berikut:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم ما تعدون الشهداء فيكم? قالوا : يا رسول الله من قتل في سبيل الله فهو شهيد. قال إن شهداء أمتي إذا لقليل! قالوا: فمن هم يا رسول الله? قال من قتل في سبيل الله فهو شهيد, ومن مات في سبيل الله فهو شهيد, ومن مات في الطاعون فهو شهي د, ومن مات في البطن فهو شهيد, والغريق شهيد (رواه مسلم)
“Rasulullah Saw. bertanya (kepada sahabatnya): ‘Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?’ Mereka menjawab: ‘Orang yang gugur di medan perang itulah syahid ya Rasulullah,’. Rasulullah Saw bersabda: ‘Kalau begitu, sedikit sekali umatku yang mati syahid.’ Para sahabat bertanya: ‘Mereka itu siapa ya Rasul? ’Jawab Rasulullah Saw: ‘Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah (bukan karena perang) juga syahid, orang yang tertimpa tha’un (wabah) pun syahid, orang yang mati karena sakit perut juga syahid, dan orang yang tenggelam adalah syahid” (HR Muslim).
Mengenai syahid ini, para jumhur ulama memberikan komentar sebagai berikut:
قال العلماء المراد بشهادة هؤالء كلهم غير المقتول فى سبيل الله انهم يكون لهم فى اآلخرة ثواب الشهداء وأما فى الدنيا فيغسلون ويصلى عليهم وقد سبق فى كتاب االيمان بيان هذا وأن الشهداء ثالثة اقسام شهيد فى الدنيا واآل خرة وهو المقتول فى حرب الكفار وشهيد فى اآلخرة دون أحكام الدنيا وهم هؤالء المذكورون هنا وشهيد فى الدنيا دون اآلخرة وهو من غل فى الغنيمة أو قتل مدبرا
“Ulama mengatakan, yang dimaksud dengan kesyahidan mereka semua, selain yang gugur di medan perang, adalah bahwa mereka kelak (di akhirat) menerima pahala sebagaimana pahala para syuhada yang gugur di medan perang. Sedangkan di dunia, mereka tetap dimandikan dan dishalati sebagaimana penjelasan telah lalu pada bab Iman. Sesungguhnya orang mati syahid ada tiga macam. Pertama, syahid di dunia dan di akhirat: yaitu mereka yang gugur di medan perang melawan tentara kafir. Kedua, syahid di akhirat, tapi tidak syahid dalam hukum dunia, yaitu lima orang yang disebut dalam penjelasan di ini. Ketiga, syahid di dunia, tidak di akhirat, yaitu mereka yang gugur tetapi berbuat curang terhadap ghanimah atau gugur saat melarikan diri dari medan perang,” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim)
- Jenazah pasien Covid-19 muslim memiliki kedudukan dan perlakuan sama dengan jenazah muslim pada umumnya, yaitu wajib dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan. Berdasarkan keterangan dari kitab Al-Majmu':
وغسل الميت فرض كفاية بإجماع المسلمين, ومعنى فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين, وإن تركوه كلهم أثموا كلهم, واعلم أن غسل الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف
“Memandikan mayit adalah fardhu kifayah secara ijma’. Makna fardhu kifayah adalah apabila kewajiban itu sudah dilakukan oleh orang/kelompok yang dianggap mencukupi, maka gugurlah tanggungan bagi yang lain . Dan jika sama sekali tidak ada yang melakukan, maka semuanya berdosa. Ketahuilah, sesungguhnya memandikan mayit, mengafaninya, menshalatinya, adalah fardhu kifayah, tanpa khilaf.” (Al-Majmu'; Syarah Al-Muhadzab, Juz 5, h. 128).
- Cara memandikan jenazah pasien Covid-19 dengan menggunakan peralatan yang bisa mencegah penularan penyakit tersebut. Memandikan dilakukan oleh orang yang profesional atau petugas kesehatan dengan harus melindungi diri dan memastikan keamanannya (menggunakan pakaian pelindung, sarung tangan, masker, dan desinfeksi diri) agar tidak tertular virus dari jenazah. Setelah dimandikan, jenazah pasien Covid-19 dibungkus kain kafan kemudian dibungkus sejenis plastik sehingga tidak mudah tercemar. Dan secara terperinci dapat mengikuti ketentuan berikut:
Jika menurut ahli memandikan jenazah Covid-19 dengan cara standar tersebut masih membahayakan bagi yang memandikan atau penyebaran virusnya, maka jenazah tersebut boleh dimandikan dengan cara menuangkan air ke badan jenazah saja, tanpa digosok. Hai ini sebagaimana penjelasan dalam Fiqig Madzahibul Arba'ah.
Adapun jika (tidak dikhawatirkan) akan rontok bila sekedar dituangi air, maka tidak boleh ditayamumi, namun harus dimandikan dengan cara dituangi air tanpa digosok" (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid I, h. 476)
Jika hal itu tidak bisa dilakukan juga, maka boleh tidak dimandikan dan diganti dengan ditayamumkan. Berdasarkan keterangan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah:Dan tayamum dapat menggantikan memandikan mayit karena tidak ada air atau karena tidak dimungkinkan dimandikan, semisal orang mati tenggelam dan dikhawatirkan tubuhnya akan rontok jika dimandikan dengan digosok atau jika dituangi air tanpa digosok" (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jilid I, h. 476)
Dan jika hal itu juga tidak dapat dilakukan karena dalam kondisi darurat, maka jenazah boleh langsung dikafani dan disholati, tanpa dimandikan atau ditayamumkan. Karena kondisi darurat atau sulit tersebut, maka boleh mengambil langkah kemudahan (al-masyaqqoh tajlibut taisir). Dan termasuk bagian dari prinsip ajaran Islam adalah menghilangkan kesulitan . Allah SWT berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak pernah sekalipun menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS: al-Haj ayat: 78).
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
عن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر رضي الله تعلى عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقول: ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم (رواه البخاري ومسلم).
“Dari Abi Hurairah Abdul Rahman bin Shokhr Ra. berkata: “Saya mendengar nabi Muhammad Saw. bersabda: “Segala sesuatu yang aku larang buat kalian semua, maka jauhilah. Segala sesuatu yang aku perintahkan kepada kalian semua, maka lakukan semampu kalian. Generasi sebelum kalian hancur disebabkan terlalu banyak bertanya (protes) dan menyelisihi para nabi mereka" (HR. Bukhari Muslim).
Sebagaimana juga dua keterangan berikut:
الثانى: مشقة تنفك عنها العبادة غالبا وهى أنواع: النوع الأول: مشقة عظيمة قادحة كمشقة الخوف على النفوس والاطراف ومنافع الاطراف فهذه مشقة موجبة للتخفيف والترخيص لأن حفظ المهج والاطراف القامة لمصالح الدارين أولى من تعريضها للفوات فى عبادة أو عبادات ثم تفوت أمثالها
“(Jenis masyaqoh) Kedua, yakni suatu kesulitan yang secara umum dapat melepaskan tuntutan suatu ibadah. Jenis ini mempunyai beberapa macam. Pertama: kesulitan yang teramat sangat seperti kekhawatiran akan keselamatan jiwa, organ, dan fungsi organ. Kesulitan semacam ini menetapkan keringanan. Karena menjaga keselamatan jiwa dan organ tubuh guna menegakkan kepentingan-kepentingan dunia dan akhirat itu lebih diprioritaskan daripada mengeksploitasi tubuh demi menjalankan satu ibadah atau beberapa ibadah, namun ibadah lainnya menjadi terbengkalai akibat kerusakan tubuh.” (Al-Izzu bin Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Muassasah al-Rayyan, jilid: 1 h: 192-193)
(فلو مات بهدم ونحوه ) كأن وقع في بئر أو بحر عميق (وتعذر إخراجه وغسله) وتيممه ( لم يصل عليه) لفوات الشرط كما نقله الشيخان عن المتولي وأقراه وقال في المجموع لا خالاف فيه قال بعض المتأخرين والوجه لا ترك الصلاة عليه لأن الميسور لا يسقط بالمعسور لما صح, وإذا أمرتكم بأمر فأتوا منه مااستطعتم ولان المقصود من هذه الصلاة الدعاء والشفاعة للميت
“Andaikan ada orang yang meninggal tertimpa reruntuhan sebagaimana tenggelam di sumur atau di laut yang dalam dan sulit untuk mengeluarkan dan memandikannya dan mentayamuminya, maka tidak perlu dishalati karena tidak memenuhi syarat. Sebagaimana dilansir oleh syaikhani dari imam Mutawalli. Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ menyampaikan :”tidak ada perbedaan pendapat dalam perihal ini.” Sebagian ulama’ muta’akhirin menyampaikan pendapat: “Tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat mayit. Karena sesuatu yang mudah tidak bisa gugur akibat sesuatu yang sulit. Berlandaskan hadits shahih: “Ketika kalian semua kuberi perintah, maka lakukan sebatas kemampuan kalian.” Alasan tetap harus dishalati adalah karena shalat merupakan doa dan penolong mayit" (Al-Khatib al-Syarbini, Mughni al Muhtaj, juz:1 h:360).
- Untuk protokol atau teknis mengkafan jenazah pasien Covid-19 secara ekstra dan pemakamannya harus mengikuti arahan dari para ahli medis.
Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:
- Sumber Hukum Islam dan Keterangannya Secara Lengkap
- Pengertian Dakwah
- Tujuan Dakwah Islamiyah
- Hukum Riba dan Bunga Bank
- Cinta Dalam Perspektif Tasawuf
- Pengertian dan Syarat Rukun Wakaf
- Corona vs Tawakal
- Virus Corona dalam Perspektif Al-Qur'an
- Cara Menyikapi Pandemi Corona
- Peristiwa Isra' Mi'raj Lengkap
- Biografi Imam Malik bin Anas
- Landasan Tawakal
- Cara Mengendalikan Stress
Reff:
Kitab Al-Asybah Wa An-Nadzo’ir Darul Kutub Al-Islamiyah
Tim Penyusun, Tajhizul Jana’iz. PP. Bambu Runcing Parakan Temanggung
LBM NU Tentang Fiqih Pemulasaraan Jenazah Pasien Covid-19
0 Komentar:
Post a Comment