Islam dalam Pengambilan Keputusan

Islam adalah agama yang "Rahmatan Lil 'Alamin", keberadaanya membawa kedamaian bagi umat semesta alam. Hal ini dapat kita lihat diantaranya dalam pengambilan keputusan kita dilarang dalam kondisi labil.

Kebenaran yang Dilematis

Kebenaran dalam beberapa hal ternyata tidak selalu berdampak baik bagi pelakunya. Dalam konteks ini kita harus tetap menyampaikan kebenaran tersebut sekalipun dilematis buat kita

Islam dan Olah Raga

Disebutkan bahwa, "Orang mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah SWT., daripada mukmin yang lemah" So, keep healty, keep financial and pray

Lengkapilah Agamamu dengan Menikah

Salah satu ibadah yang enak dan berpahala banyak adalah melangsungkan pernikahan. Bagaimana tidak, karena nikah merupakan salah satu sunah para rasul "Sunanun min Sunanil Mursalin"

Memilih Teman

Teman menjadi orang yang paling mewarnai hidup kita, baik deri segi sikap tindakan dan sikap mental seseorang. Olehkarena itu Islam mengajarkan agar dalam bergaul kita benar benar berhati-hati karena "Al-Mu'asyarotu Muatsiroh"

Saturday, December 27, 2014

Dasar Hukum Memperingati Maulid Nabi

Dasar Hukum Memperingati Maulid Nabi SAW

Sahabat syariatkita, banyak orang yang berdebat kusir mengenai perihal diperbolehkannya melaksanakan mauid Nabi. Jika diamati di forum-forum yang ada, para penganut aliran Islam salafiyah konservatif tentunya dengan suara lantangnya menyerukan bid’ah zolalahnya peringatan tersebut. Akan tetapi saya tidak melihat bahwa dalam peringatan tersebut terdapat unsur yang diharamkan, melainkan yang ada dalam acara tersebut hanyalah bacaan maulid, tahmid, asma’ muadzom dan pujian lain yang ditujukan kepada Allah serta Rasul-Nya, dimana dalam berkenaan dengan hal tersbut Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an Surah al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللهَ وَمَلَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salamdengan penuh penghormatan kepadanya.

Berdasarkan hal di atas, maka yang terjadi dalam rangkaian acara maulid tidaklah bertentangan dengan apa yang di ajarkan oleh syariat. Mengapa demikian, jelas bahwa membacakan shalawat kepada Rasulullah merupakan perintah Allah, membaca tahmid dan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkandung dalam serangkaian acara tersebut juga merupakan perintah agama, karena merupakan suatu bentuk ibadah. Yang menjadi perdebatan selama ini yaitu terlatak pada masalah tata cara atau interpretasi pelaksanaan kegiatan tersebut, dimana mereka yang atidak sependapat mengenai mengenai perayaan maulid mengangap bid’ah dan setiap bid ah adalah sesat. Tapi tunggu dulu Anda mungkin perlu mencermati pengertian dan hukum bid’ah itu sendiri, karena bid’ah yang tidak diperbolehkan hanya pada tataran permasalahan ibadah mahdzoh (ibadah yang murni dan langsung berkaitan dengan Allah) seperti, shalat, puasa haji dan lain sebagainya.

Sebagai satu contoh dalam ibadah mahdzoh, Allah memerintahkan kita melakukan shalat dalam sehari semalam sebanyak 5 kali. Dalam hal ini dikatakan bid’ah zolalah atau sesat dan tidak akan dapat dibenarkan manakala kita solat hanya 3 kali sehari, karena hal tersebut jelas bertentangan dengan perintah Allah yang mana dalil mengenai kewajibannya telah di atur dan dijelaskan secara detail dengan dalil yang bersifat qat’iy langsung dari Allah. Melaksanakan shalat 3 kali sehari tersebut itulah yang dinamakan bad’ah zolalah yang jelas sesatnya. Begitu pula Allah mewajibkan puasa di bulan Ramadhan, perintah tersebut merupakan hal yang bersifat qat’iy dengan dalail definitif yang langsung dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita dikatakan bid’ah manakala melaksanakan puasa wajib Ramadhan di bulan selain yang telah ditentukan oleh Allah tersebut.

Dari apa yang saya jelaskan di atas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud oleh golongan yang suka membid’ah-bid’ahkan golongan lain yang tidak sependapat dengan mereka dengan mengatakan dalil dari hadis:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat pembaharuan (sesuatu yang baru/perubahan) dalam urusan kami ini (yakni agama Isam), berupa sesuatu yang tidak termasuk darinya, maka sesuatu tersebut tertolak (tidak diterima) ”

Berkaitan dengan hadis di atas, yang dimaksud tertolak dapat dijelaskan dalam syarah hadis sebagai berikut:

وَعَلَى هَذَا فَمَنْ بَاعَ بَيْعًا مُحَرَّمًا فَبَيْعُهُ بَاطِلٌ , وَمَنْ صَلَّى صَلَاةَ تَطَوُّعٍ لِغَيْرِ سَبَبٍ فِيْ وَقْتِ النَّهْيِ فَصَلاَتُهُ بَاطِلَةٌ وَمَنْ صَامَ يَوْمَ الْعِيْدِ فَصَوْمُهُ باطِلٌ وَهَلُمَّ جَرَّا , لِأَنَّ هَذِهِ كُلِّهَا لَيْسَ عَلَيْهَا أَمْرُ اللهِ وَرسَوُلِهِ فَتَكُونَ بَاطِلَةً مَرْدُوْدَةً

“Berdasarkan hal ini maka barang siapa yang melakukan akad jual beli yang haram, maka jual belinya jelas batal, barangsiapa yang melakukan shalat sunah tapi tanpa ada suatu sebab, sedangkan pelaksanaan shalat tersebut di waktu yang diharamkan maka sgolatnya batal (tidak sah), dan barangsiapa yang puasa di Hari Raya, maka puasanya juga batal begitu juga seterusnya. Karena semua hal-hal tersebut bertentangan dengan (syariaat) Allah dan Rasul-Nya, maka jelas batal dan tertolak.”


Apa yang terdapat dalam penjelasan hadis di atas yaitu pada masalah syariat yang ketentuannya sudah diatur secara jelas, sehingga barangsiapa yang menyelisihi aturan yang telah ditetapkan tersebut, maka apa jelas batalnya. Sedangkan perselisihan dalam masalah pelaksanaan maulid, terletak pada interpretasi dari masing-masing golongan saja,tepatnya yaitu pada masalah bagaimana cara membaca shalawat kepada nabi, karena jelas ulama yang ilmunya sudah mutabahhir-pun turut melakukan mauled, bahkan karangan siapa kitab-kitab mauled yang membahas riwayat hidup dan pujian kepada baginda Nabi Muhammad SAW selain dari mereka.

Pertanyaan yang menggelitik hati kita juga, apakah jikalau kita berpegangan langsung dengan keterangan Al-Qur’an atau hadis kira-kira kita mampu tidak? Apakah imu kita sudah cukup untuk menelaah apa yang dimaksud dalam kitab yang merupakan warisan Rasulullah tersebut? Apakah ilmu kita kiranya sudah bisa menandingi ilmu para A’immah (imam-imam) mazhab yang mana beliau telah jelas alimnya? Lawong ilmu nahwu shorof saja kita tidak paham, gramatikal bahasa Arab saja kita juga tidak mudeng. Maka dari itu kita perlu memahami bagaimanakah hukum mengambil dalil langsung dari Al-Qur’an dan hadis dengan mengabaikan kitab fikih yang ada. Karena dalam kitab dalam Kitab Tarsyihul Mustafidin (salah satu syarah kitab Fathul Muin) dijelasken mengenai diperbolehkannya melakukan peringatan maulid. Adapun dalam redaksi kitab tersebut dijelaskan:

(تنبيه) مِنْ فَتَاوِي السُّيُوْطِيْ سُئِلَ عَمَّنْ عَمِلَ مَوْلِدَ النَّبِيِّ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ مَا حُكْمُهُ، وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ؟...... الى قوله: مِنَ الْبِدَعِ الحْسَنََةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا

“(Redaksi tambahan) Diantara fatwa-fatwa Imam Suyuti, beliau ditanya tentang orang yang melakukan acara Mauid pada Bulan Rabiul Awal, bagaimana hukumnya, apakah pelakunya mendapatkan pahala?...... (sampai jawaban beliau) yang demikian itu tersmasuk bid’ah hasanan yang mana pelakunya jelas mendapatkan pahala”

Kesimpulan yang dapat diambil mengenai peaksanaan maulid nabi adalah boleh karena tidak ada unsur-unsur yang diharamkan dalam peringatan tersebut. Hanya saja naluri manusia, ketika telah terjerumus ke dalam paham cauvinisme (taassub) atau fanatisme goongan, maka apa yang dilakukan oleh golongan lain yang berbeda dengan mereka selalu saja dianggap salah. (و الله أعلم باالصواب)

dasar hukum memperingati maulid Nabi

Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:
Sahabat syariat kita, terbaru kami ling-kan dengan chanel yang sesuai dengan tema.
Semoga bermanfaat.



Sunday, December 21, 2014

Cara Membaca Shalawat Kepada Nabi Muhammad

Cara Membaca Shalawat Kepada Nabi Muhammad SAW

 

Sahabat syariatkita, Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an Surah al-Ahzab ayat 56:

إن الله وملئكته يصلون على النبي ياايها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salamdengan penuh penghormatan kepadanya.

Berdasarkan Ayat di atas, jelas Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk senantisa bershalawat kepada beliau, karena Allah sendiri juga membacakan ahalawat-Nya. Akan tetapi pernahkah kita bertanya, mengapa Allah membaca shalawat kepada beliau, tidak cukup sampai disitu Allah juga mengkhitobi orang yang beriman agar turut pula membacakan shalawat kepada beliau? Terus jika kita disuruh membaca shalawat, bagaimana cara melakukannya? Bagaimana pula hukum melakukan peringatan maulid? Pertanyaan pertanyaan tersebut mungkin terasa sepele, akan tetapi banyak diantara kita yang kurang mengindahkannya, sehingga jika ada perbedaan cara mengucapkan shalawat tak ayal terjadi perang argumen dengan menonjolkan jatidiri masing-masing golongan.

Baiklah dalam artikel kali ini, syariatkita akan mencoba menjelaskan tentang hal itu. Dalam hal ini, mayoritas ulama berpendapat mengenai wajibnya membaca shalawat kepada beliau. Kewajiban tersebut yaitu berdasarkan firman Allah Surah Al-Ahzab ayat 56 sebagaimana di atas, diaman kalau dalam istilah ilmu ushul fikih dikatakan:

أَلْأَمْرُ لِلِوُجُوْبِ إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَا فِهِ

“Perintah menunjukkan suatu kewajiban, kecuali ada dalil yang menyalahinya.”

Dengan demikian jelaslah bahwa bershalawat merupakan kewajiban kecuali ada dalil syar’i yang melarangnya. Akan tetapi, yang menjadiperbedaan di kalangan ulama yaitu pada masalah kadarnya, dalam arti kapan saja kita seharusnya membacakan shalawat kepada Rasulullah SAW, apakah hanya wajib ketika di dalam bacaan shalat saja, atau ada waktu-waktu tertentu yang mengaturnya.

Diantara ulama ada yang menyebutkan bahwa kewajiban membaca shalawat yaitu pada setiap kali Nama Nabi disebutkan. Mereka mendasarinya dari hadis beliau:
اَلْبِخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلَّى عَلَيّ

“Orang yang pelit, yaitu orang yang ketika disebutkan namaku akan tetapi mereka tidak membacakan shalawat atasku.

Atas dasar itulah, maka Imam Al-Qurthubi menjelaskan untuk menghindari dosa dan sebagai langkah kehati-hatian, maka seyogyanya kita harus membacakan shalawat setiap kali nama beliau disebutkan. Dalam hal ini, mayoritas ulama hampir sependapat bahwa kewajiban membacakan shalawat  yaitu seumur hidup sekali. Hal tersebut dikarenakan, kewajiban melaksanakan suatu perintah tidak menuntut harus di ulang-ulang, dalam hal ini disebutkan dalam kaidah ushul fikih:

اَلْأَمْرُ لَا يَقْتَضِى التِّكْرَارَ

“Suatu perintah tidak menuntut adanya pengulangan.”

Dengan demikian, dengan membaca shalawat satu kali saja maka sudah dapat menggugurkan kewajiban. Akan tetapi pendapat ini juga sejumlah ulama yang lain dimana menreka mengatakan, lalu bagaimana keadaannya ketika kita shalat? Bukankan dalam shalat kita juga diwajibkan membaca shalawat setiap duduk tasyahhud akhir? Sehingga diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kewajiban membaca shalawat yang dimaksud yaitu setiap kali duduk tasyahud dalam shalat (ash-Shiddiqy, 2000: 304). Kewajiban mambaca shalawat selain berdasarkan Al-Qur’an sebagaimana di atas, juga diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sebagai berikut:

صَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّهَا زَكَاةٌ لَّكُمْ وَاسْأَلوُا اللهَ لِيْ اَلْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا دَرَجَةٌ فِيْ اَعْلَى الْجَنَّةِ لَا يَنَالهُاَ اِلَّا رَجُلٌ وَاَرْجُوْ اَنْ اَكُوْنَ اَنَا هُوَ

Bersalawatlah kalian untukku, karena shalawat kalian adalah penyuci (dari dosa) kalian dan mohonkanlah bagiku al-wasilah kepada Allah ia (al-wasilah) adalah suatu tingkat di surga yang tertinggi yang hanya akan dikaruniakan kepada seseorang dan aku berharap orang itu adalah aku.”

Adapun pembacaan shalawat yang dimaksud yaitu berbeda-beda dan esensinya, itu semua tergantung yang membacakannya. Karena shawalat yang dimaksud adalah shalawat dari segi etimologi yang berarti ad-du’a (الدعاء) atau at-tabarruk (التبارك). Shalawat sendiri merupakan bentuk jamak (kata majemuk) dari mufrot (kata tunggal) shalat (Abdullah, 1985: 553). Dengan demikian, pengertian Allah SWT membacakan shalawat kepada Raslullah adalah Allah memberikan rahmat, ridha, kemuliaan, pujian dan penghormatan. Sedangkan yang dimaksud malaikat membacakan shalawat kepada beliau berarti para malaikat memohonkan ampunan dan do’a kepada beliau agar di curahkan rahmat-Nya, sedangkan shalawat orang-orang yang beriman adalah berupa do’a yang dipanjatkan kepada Allah serta mentaati dan menjunjung perintah beliau (Nabil, 2002: 235).

Adapun tata cara membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW minimal yaitu dengan mengucapkan Allahumma shalli ‘ala muhammad (اللهم صلى على محمد), akan tetapi yang lebih baik sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi yaitu dengan menambahwan shalawat untuk keluarga beliau dengan demikian bacaannya menjadi (اللهم صلى على محمد وعلى ال محمد). Imam Bukhari dalam dalam Shahihnya dari Said bin Yahya bin Said menjelaskan ketika ada salah seorang sahabat bertanya kepada beliau mengenai bagaimana caranya membaca shalawat kepada beliau, maka Rasulullah-pun bersabda:

قُوْلُوْا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمّدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اَلِ اِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ بَاِركْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى اَلِ اِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

(Rasulullah bersabda), katakanlah:Ya Allah berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia. Ya Allah anugerahi berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau menganugerahi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia.”

Dalam kitabnya; Al-Adzkar, Imam Nawawi menjelaskan bahwa pengucapan shalawat kepada Nabi SAW hendaknya tidak sekedar ucapan: shallaallahu alaihi (صلى الله عليه) saja, akan tetapi hendaklah diiringi kata wasallamuhu (وسلامه). Hal tersebut dimaksudkan agar doa yang dipanjatkan kepada beliau menjadi lebih sempurna.  

Demikian sahabat styariatkita, cukup menarik bukan semoga kita tambah pengetahuan dan tentunya tambah cinta kepada baginda junjujungann kita Nabi Muhammad SAW. Semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:

Saturday, December 20, 2014

Tujuan Dakwah Islamiyah

Tujuan Dakwah Islamiyah


Sahabat srariat kita, sebagaimana dijelaskan oleh Amrullah Ahmad dalam artikel Pengertian Dakwah Islam, bahwa dakwah merupakan upaya menyeru manusia menuju jalan Allah (Islam) dengan melakukan perubahan-perubahan ke arah positif yang diridhai Allah; dari budaya jahiliyah menuju budaya islamiyah, dari kesesatan menutu jalan yang lurus (sirathal mustaqim) dengan tujuan utamanya yaitu untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Dalam hal ini tujuan yang dimaksud yaitu berkaitan dengan upaya untuk mempengaruhi seluruh lingkup kehidupan manusia yang meliputi cara berpikir, bersikap, dan berperiaku dalam kehidupan individu sehari-harinya dan juga dalam kehidupan sosiokulturalnya dalam rangka mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam kedalam seluruh lini kehidupan mereka. 

Tujuan sebagaimana di atas sejatinya merupakan suatu usaha membina masyarakat agar terjadi perubahan dalam diri mereka, berkelakuan baik, dapat bersifat adil, baik dalam masalah pribadi maupun keluarga serta masyarakat, sehingga terjadi perubahan dari paradigma way of thinking yang diajarkan oleh Islam menuju perubahan way of life atau cara mereka dalam menjalankan hidupnya. Perubahan tersebutlah yang merupakan esensi yang diharapkan dari tujuan dakwah islamiyah.

tujuan dakwah islamiyah


Berkenaan dengan tujuan dakwah, tentunya tidak bisa terlepas dari  Rasulullah SAW., yang merupakan Rasul pembawa misi dakwah dari Tuhan semesta alam. Beliau membawa amanah suci yang bertugas untuk merubah akhlak manusia. Adapun perubahan akhlak yang dimaksudkan adalah Al-Qur’an itu sendiri, karena Al-Qur’an lah yang merupakan pedoman hidup manusia. Jika manusia mau berpegang teguh pada  intisari ajaran Al-Qur’an, maka mereka tidak akan tersesat untuk selama-lamanya sebagaimana disebutkan dalam hadis:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّ أَبَدًا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selamanya sema berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunah Rasul-Nya (hadis).”

Jelaslah bahwa dengan berpegang dengan Al-Qur’an dan Hadis, maka manusia dapat selamat dunia dan akhirat. Dengan demikian, maka tujuan dakwah islamiyah yaitu merubah manusia ke arah yang lebih baik dan diridhai Allah SWT., akan tercapai.

Secara umum, tujuan dakwah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a.     Dakwah bertujuan untuk menegakkan agama Allah dan untuk mempersatukan umat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah As-Syuraayat ayat 13:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ

“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka..."

b.     Dakwah bertujuan mengajak manusia agar menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Mengenai hal ini terdapat dalam Suarah Ar-Ra’d ayat 36 sebagai berikut:

وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَفْرَحُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمِنَ الأَحْزَابِ مَنْ يُنْكِرُ بَعْضَهُ قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللّهَ وَلاَ أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُوْ وَإِلَيْهِ مَآبِ

“Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka, bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu, dan diantara golongan-golongan Yahudi yang bersekutu ada yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah, "Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali."

c.  Dakwah bertujuan mengembalikan manusia pada fitrahnya, dakwah senantiasa mengajak dan menuntun manusia menuju ke jalan yang lurus. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Surah Al-Mu’minun ayat 73 berikut:

وَإِنَّكَ لَتَدْعُوهُمْ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar menyeru mereka ke jalan yang lurus.”
d.     Tujuan dari dakwah yaitu menghidupkan hati yang keras dan telah mati, agar mereka menerima ajaran Islam dan mentaatinya. Hal tersebut dikarenakan, manusia yang berahlak rendah maka derajadnya lebih rendah dimata Allah dibandingkan binatang. Oleh karena itu dengan dakwah islamiyah maka diharapkan hati akan kembali terbuka menerima hidayah dari Allah SWT., Allah berfirman dalam Surah Al-Anfal ayat 14: 

يَاأَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُواْاسْتَجِيبُواْلِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ...

“Hai orang-orang yang beriman, patuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu ..."

Sedangkan jika dilihat dari aspek fungsinya, maka dakwah islamiyah menurut Awaludin Pimay kurang lebih memiliki dua tujuan yaitu umum dan khusus. Tujuan umum dakwah yaitu untuk menyelamatkan manusia dari lembah kegelapan dan membawanya ke tempat yang terang benderang (islam), menyelamatkan mereka dari jalan yang sesat menuju jalan yang lurus (tauhid), kesmuanya itu dalam ranga mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan khusus dakwah sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini yaitu:

1.    Merealisasikan ajaran Islam secara kaffah (holistik) sehingga dapat terwujud masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kehidupan beragama yang islami.
2. Mengontrol keberlangsungannya agama agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan agama.
3.  Mewujudkan masyarakat muslim yang dapat dibanggakandalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara, hidup rukun dan saling menghormati sehingga dapat tercipta masyarakat yang baldatun toyyibatun warobbun ghafur.

Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:
·           Pengertian Dakwah
·           Dasar Hukum Dakwah
·           Hukum Riba dan Bunga Bank
·           Cinta Dalam Perspektif Tasawuf
·           Pengertian dan Syarat Rukun Wakaf


Ref:
Achmad, Amrullah, 1983, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primaduta
Aziz, Moh. Ali, 2004, Ilmu Dakwah,  Jakarta: Prenada Media

Dasar Hukum Dakwah

Dasar Hukum Dakwah


Sahabat syariatkita, kewajiban berdakwah merupakan kewajiban yang bersifat taklifi dari Allah Subhanahu Wata'ala kepada umat-Nya, agar apa yang menjadi tujuan Islam dapat tercapai. Karena sifatnya taklifi dan qat’i, maka jelaslah bahwa dasar hukum dakwah pastinya berasal dari sumber utama hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadis. 

dasar hukum dakwah


Dalam hal ini, seluruh ulama telah bersepakat mengenai wajibnya berdakwah. Akan tetapi yang masih menjadi perdebatan diantara meraka adalah, apakah kewajiban tersebut bersifat ainiyah (wajib bagi setiap individu muslim) atau sekedara wajib kifayah (kewajibannya gugur manakala sudah ada salah seorang yang melakukan).

Dalil Kewajiban Dakwah

Terlepas dari kontradiksi sebagaimana di atas, mengenai dasar hukum dakwah telah dijelaskan oleh Allah ٍSubhanahu Wata'ala di dalam Al-Qur’an maupun Rasulullah dalam hadisnya. Adapun ayat Al-Qur’an yang menjelaskan dasar hukum dakwah yaitu sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

Surah An-Nahl ayat 125: 

ادْعُ إِلِى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
 
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Surah Ali Imron ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

Selain ayat di atas, dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh imam Muslim juga disebutkan mengenai kewajiban dakwah. Adapun matan hadis tersebut adalah sebagai berikut:

مَنْ رَاَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَاِنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَاِنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ اَضْعَفُ الْاِيَمَانِ

“Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya (kekuatannya), apabila ia tidak mampu (mencegah dengan tangan) maka hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan apabila (dengan lisan) ia juga tidak mampu maka hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan yang demikian ini adalah selemah-lemahnya iman.

Siapakah yang Wajib Berdakwah?


Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan di atas, para ulama yang menyatakan bahwa hukum dakwah adalah wajib ainiyah (wajib bagi setia individu), maka mereka mendasari argumen mereka pada lafal (ادع) yang berarti "serulah" dan merupakan fiil amar (kata kerja perintah) yang mana dalam kaidah usul fikihnya, amar menunjukkan wajib selagi belum ada dalil yang melarang atau yang menyelisihinha. 

Argumen ini sebagaimana dalam usul fikih berikut:

اَلْأَمْرُ لِلْوُجُوْبِ اِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ

"Perintah (melakukan sesuatu), menunjukkan kewajiban (untuk dilaksanakan), kecuali ada dalil yang menyelisihinya"

Jadi ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam Surah An-Nahl ayat 25 tersebut jelas menunjukkan wajibnya berdakwah. Begitu pula pada ayat selanjutnya yakni dalam Surah Ali Imran ayat 104karena lafal (والتكن) jelas menunjukkan wajib karena terjapat lam amar (lam yang berarti perintah).

Sedangkan sebagian ulama yang berpendapat bahwa hukum dakwah adalah wajib kifayah; yakni kewajiban tersebut gugur manakala sudah ada salah seorang yang melakukannya. Sebagai satu contoh, dalam suatu desa banyak pemda yang gemar mabuk-mabukan, akan tetapi diketahui sudah ada pihak pengurus masjid setempat yang telah menasehati dan memperingatkan mereka bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang haram dan dilarang oleh agama, maka dengan demikian masyarakat muslim yang lain sudah tidak lagi berkewajiban mengingatkannya. Inilah yang dikehendaki dengan wajib kifayah.

Para ulama yang manghukumi wajib kifayahnya dakwah yaitu mengambil pengertian dari kata “منكم” yang berfaidah “lit tab’id” atau menunjukkan makna sebagian. Yakni yang dimaksud adalah “sebagian masyarakat muslim“ tidak seluruhnya. Argumentasi ini sebagaimana dijelaskan oleh Zamaksyari.

Dalam hal ini, DR. Awaludin Pimay (Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang) berpendapat, bahwa kewajiban dakwah yang dimaksud hanyalah sebatas wajib kifayah. Beliau dalam hal ini lebih condong dengan dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan wajib kifayahnya dakwah. 

Alasan beliau menyatakan demikian yaitu bahwa dalam berdakwah mutlak diperukan adanya kompetensi sang dai yang berupa ilmu dan ma’rifah agar Tujuan Dakwah Islamiyah dapat terlealisir sehingga esensi dakwah dapat sampai kepada obyek dakwah (mad’u) secara sempurna.

Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:

Ref:
Depag RI, 1993, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra
Syukir, Asmuni, 1983, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas
Pimay, Awaludin, 2006, Metodologi Dakwah; Kajian Teoritis Dari Hasanah Al-Qu’ran, Semarang: Rasail

Dapatkan Artikel Kami Gratis

Ketik email Anda di sisi:

Kami akan mengirimkannya untuk Anda

Quality Content