Islam dalam Pengambilan Keputusan

Islam adalah agama yang "Rahmatan Lil 'Alamin", keberadaanya membawa kedamaian bagi umat semesta alam. Hal ini dapat kita lihat diantaranya dalam pengambilan keputusan kita dilarang dalam kondisi labil.

Kebenaran yang Dilematis

Kebenaran dalam beberapa hal ternyata tidak selalu berdampak baik bagi pelakunya. Dalam konteks ini kita harus tetap menyampaikan kebenaran tersebut sekalipun dilematis buat kita

Islam dan Olah Raga

Disebutkan bahwa, "Orang mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah SWT., daripada mukmin yang lemah" So, keep healty, keep financial and pray

Lengkapilah Agamamu dengan Menikah

Salah satu ibadah yang enak dan berpahala banyak adalah melangsungkan pernikahan. Bagaimana tidak, karena nikah merupakan salah satu sunah para rasul "Sunanun min Sunanil Mursalin"

Memilih Teman

Teman menjadi orang yang paling mewarnai hidup kita, baik deri segi sikap tindakan dan sikap mental seseorang. Olehkarena itu Islam mengajarkan agar dalam bergaul kita benar benar berhati-hati karena "Al-Mu'asyarotu Muatsiroh"

Tuesday, April 29, 2014

Pengobatan Ala Islam (Ruqyah)

MENGENAL RUQYAH (الُرقْيَة)

(Konsep pengobatan ala Islam)


Kemajuan teknologi yang semakin pesat, ternyata tidak menyurutkan peran pengabatan islami sama sekali. Hal tersebut terbukti dengan semakin maraknya pengobatan alternatif yang kian dirasakan sebagai pengobatan yang ramah lingkunagan dan masyarakat (ekonomis dan praktis). Akan tetapi di sisi lain, dengan semakin menjamurnya pengobatan “alternatif” yang kian diminati oleh masyarakat, telah membuat segelintir oknum yang memiliki kompetensi dibidangnya telah menyalah-gunakan kewenangannya, seperti kasus yang kita alami akhir-akhir ini (red. UGB).


Terlapas dari permasalahan di atas, pengertian ruqyah dipandang dari segi etimologis yaitu berasal dari bahasa arab yaitu “رُقَى -  َرُقْيَاتٌ” yang berarti mantera, guna-guna, jampi-jampi, jimat (al-Munawwir, 1997: 525). Ruqyah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah rukiah/rukiat yang memiliki arti sihir dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pesona guna-guna dan lain sebagainya (Purwadinata, 1976: 853).
          
Dalam istilah terminologi, ruqyah sebagaimana dikemukakan oleh H.M. Hasan Ismail dalam "Ruqyah dalam Shahih Bukhari" yaitu, sesuatu yang berkaitan dengan membacakan mantra atau do'a kepada seseorang, atau untuk tempat tertentu dengan tujuan yaitu menghilangkan adanya gangguan dari  jin (Ismail, 2006: 11). Pendapat lain mengatakan, ruqyah merupakan mantera atau jampi-jampi yang digunakan seseorang untuk mengobati orang yang mederita “musibah”, seperti penyakit panas, kerasukan jin atau penyakit sejenis lainnya (Shalih, 1999: 82).   

Pada dasarnya, ruqyah bukam nmerupakan metode pengobatan yang baru. Ia sudah dikenal jauh sejak zaman sebelum Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah sebagai rasul. Mengenai ruqyah dijelaskan sebagaimana dalam hadis:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنِ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنِ الرُّقْيَةِ فَقَالَتْ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهـْلِ بَيْتٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فِي الرُّقْيَةِ مِنْ كُلِّ ذِي حُمَةٍ (رواه مسلم)

Artinya:  
             
“Telah mengabarkan kepada kami dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Ali bin Mushar dari asy-Syaibani dari Abdur Rahman bin Aswad, dan ayahnya ia berkata: "Aku bertanya kepada Aisyah ra, tentang Ruqyah (do'a-do'a dan ayat-ayat yang dibaca) dan setiap (binatang) yang berbisa.” (HR. Muslim).

Berdasarkan keterangan sebagaimana hadis di atas, maka dapat kita ambil pengertian bahwa ruqyah yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan kita sekarang ini yaitu ruqyah syar'iyah sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. Hal tersebut dilakukan yaitu untuk menghindari adanya praktik ruqyah yang merugikan masyarakat, karena tujuan dilakukannya ruqyah dalam Islam tiada lain yaitu atas dasar saling menolong sesame muslim. Ruqyah sebagaimana diajarkan oleh Rasuullah saw. yaitu ruqyah sesuai dengan syariat Islam, jauh dari praktik yag berbau “klenik” apalagi dengan bantuan jin. Ruqyah yang dimaksud yaitu dengan bacaan-bacaan ayat-ayat suci Al-Quran dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Ruqyah sebagaimana dimaksud yaitu dapat dilakukan oleh setiap orang muslim. Hal tersebut dikarenakan do’a-do’a yang dibacakan di dalamnya merupakan “ma’tsur” dari Rasulullah saw. Dan tentunya jauh dari kemusyrikan (meminta kepada selain Allah swt.). 

Ref.
Ahmad Warson Al-Munawwir. 1997, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif
H.M. Hasan Ismail, 2006. Ruqyah dalam Shahih Bukhari, Surakarta: Aulia Press
Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, 1999. Kitab Tauhid, jilid 3; terj. Ainul Haris Arifin, Jakarta: Darul Haq
J.S. Poerwadarminta, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Monday, April 28, 2014

Refleksi Zakat

MENREFLEKSI KEWAJIBAN ZAKAT

(zakat cermin pribadi islami )


Zakat berasal dari kata “زكـاة”yang berarti sedekahdan kebersihan (Yunus: 106). Sedangkan dalam istilah, zakat biasa diartikan sebagai suatu kadar harta tertentu, yang harus diberikan kepada kelompokyang berhak menerima (mustahik) dengan syarat-syarat tertentu (Rifai: 123).
Zakat merupakan pengambilan sebagian harta dari muslim untuk kesejahteraan muslim dan oleh orang muslim (Syadzali, 1991: 160). Pada hakekatnya, zakat merupakan salah satu ibadah kepada Allah SWT setelah manusia dikaruniai keberhasilan dalam bekerja dengan melimpahnya harta benda. Bagi orang muslim, pelunasan zakat semata-mata sebagai cermin kualitas imannya kepada Allah SWT. Kewajiban zakat merupakan kewajiban agama seperti halnya sholat dan menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, setiap muslim yang harta kekayaannya telah mencapai “nishab dan haul” berkewajiban untuk mengeluarkan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal.
Adapun pengertian zakat secara terminologi, sebagaimana yang telah diungkap oleh Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini (172), adalah:
اَلزَّكَـا ةُ فِى الشَّرْعِ هِيَ اِسْــمٌ لِقَدْرٍمِنَ الْمَـالِ اَلْمَخْصُوْصِ يُصْرَفُ لِأَصْـنَا فٍ مَخْصــُوْصَةٍ بِشـَرَائِطَ
Artinya:
Zakat menurut syara’ adalah nama suatu ukuran harta tertentu yang diberikan kepada asnaf-asnaf (golongan-golongan) tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula.
Dari beberapa definisi tentang Zakat tersebut di atas dengan menggunakan istilah-istilah yang berbeda-beda tetapi pada dasarnya adalah sama, kesamaan tersebut ditekankan pada kalimat mengeluarkan harta dari suatu harta untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
Dalam Islam, zakatmenempati kedudukan yang sangat penting dan mendasar. Begitu pentingnya kewajiban zakat, sehingga perintah menunaikan zakat dalam Al-Qur’an sering disertai dengan suatu ancaman yang tegas bagi mereka yang mengabaikan perintah tersebut. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam surah  at-Taubah ayat 34 sebagai berikut:
... وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya:
“… Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka  (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih.” (QS. Al-Baqarah 34)

Disisi lain, perintah menunaikan zakat juga sering dibarengi dengan perintah mengerjakan sholat. Hal ini tentunya mengajarkan kepada kita, mengenai adanya hubungan yang sangat erat, dimana ibadah shalot bermuara vertikal (langsung) kepada Allah, sedangkan zakat lebih mengedepankan tali sesama manusia (humanis responsibility).
Dengan demikian, orang yang mengerjakan kewajiban terhadap Allah yang berupa sholat, akan tetapi mengabaikan sisi sosialitasnya seperti kewajiban zakat, enggan memberikan bantuan; makanan, maka dapat dipastikan bahwa sejatinya mereka adalah “pendusta agama(al-Ma’un).

Ref:
o          Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung
o          Rifa’i, Muh, Tarjamah Khulasah Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra
o          Syadzali, Munawir et. al., Zakat dan Pajak,Cet. Ke-II, Jakarta: Bina Rena Pariwara

Sunday, April 27, 2014

Pengertian Mudharabah

Pengertian Mudharabah dalam Islam

Mengenal Mudharabah

Sahabat syariatkita, Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. keberadaanya senantiasa solutip terhadap problematika yang dialami oleh umatnya, termasuk dalam masalah jual beli. Dimana jual beli merupakan aktifitas pokok dimana setiap orang dapat memperoleh kebutuhannya. 

Dalam hal ini dinamika kehidupan yang kian hari kian moderen sesuai dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi, maka praktik jual beli-pun sudah berubah dari dasar awalnya. Orang sekarang sudah condong melakukan akad atau transaksi yang sifatnya non-tunai, dibandingkan dengan transaksi konvensional. Hal ini dikarenakan transaksi secara non-tunai dirasa lebih praktis, tidak menyita waktu dan tentunya lebih on-time. Adapun metode yang digunakan diantaranya dengan akad bagi hasil atau mudharabah. Akad ini mungkin jarang kita dengar akan tetapi praktikya sudah biasa kita lakukan.


Pengertian Mudharabah

Secara etimologi, mudharabah adalah bentuk masdar dari fi'il madhi (ضارب) yang berarti berdagang atau memperdagangkan (al-Munawir, 84: 875). Mudharabah disebut juga dengan mu'amalah karena umat Islam di Irak manyebutkan mudharabah dengan istilah muamalah. Mudharabah disebut juga dengan qirodl

Ulama' Hijaz menyebutkan dengan istilah Qirodl, yaitu berasal dari kata qiradl yang berarti al-Qath'u atau pemotongan. Hal itu karena pemilik harta memotong dari sebagian hartanya sebagai modal dan menyerahkan hak pengurusannya kepada orang yang mengelolanya dan pengelola memotong untuk pemilik bagian dari keuntungan sebagian hasil dari usaha dan kerjanya (al-Jaziri, 1980: 91).

pengertian mudharabah

Sedangkan Mudharabah secara Terminologis disampaikan oleh Fuqaha' Madzhab empat sebagai berikut:
  1. Madzhab Hanafi mendefinisikan Mudharabah adalah akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan dengan pekerjan (usaha) dari pihak yang lain
  2. Madzhab Maliki mendefinisikan Mudharabah adalah penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya
  3. Madzhab Syafi`i mendefinisikan Mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua.
  4. Sedangkan Madzhab Hambali mendefinisikan Mudharabah adalah penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya (al-Jaziri, 1980: 41).
Selain ulama` empat madzab diatas terdapat juga perbedaan pendapat tentang definisi mudharabah. Pendapat tersebut antara lain:

  1.   Sayyid Sabiq mendefinisikan Mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sebagaimana kesepakatan.
  2.    Abdurrahman Al-Jaziri mendefinisikan Mudharabah adalah akad antara dua orang yang berisi kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif, dan keuntungan usaha itu akan diberikan sebagian kepada pemilik modal dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama (Sabiq: 212).
  3.   Ibnu Rusyd mendefinisikan Mudharabah sebagai pemberian harta seseorang kepada orang lain untuk dipakai berdagang berdasarkan sebagian tertentu dari keuntunagan harta tersebut yang diambil oleh orang yang bekerja, yaitu sebagian yang telah disetujui sebelumnya oleh keduanya, misalnya sepertiga, seperempat atau separo (Ibnu Rusyd: 178).
  4.    Imam Taqiyuddin mengartiakan Mudharabah sebagai akad penyerahan harta kepada seseorang untuk berdagang dengan keuntungan diterima bersama dan rugi tentunya ditanggung bersama.
  5.   Muhammad Muslehuddin mengartikan Mudharabah adalah termasuk bentuk perjanjian atau jenis perkongsian dimana seseorang memberi hartanya kepada orang lain berdasarkan prinsip dagang dimana keuntungannya yang diperoleh akan dibagi berdasarkan proporsi yang telah disetujui diantara kedua belah pihak, seperti setengah dari keuntungan, atau seperempat dari sebagiannya.
Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa Mudharabah adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan tersebut menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (ahli dagang) tersebut adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah (Dahlan A, 1997: 197).

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Mudharabah adalah akad antara dua pihak, pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak yang lain sebagai pelaksana modal atau seseorang yang ahli dalam berdagang untuk mengoperasionalkan modal tersebut dalam usaha-usaha produktif dan keuntungan dari usaha tersebut dibagi dua sesuai dengan kesepakatan. Dan jika terjadi kerugian, maka kerugian ditanggung oleh pemberi modal, sedangkan bagi pihak pelaksana modal kerugiannya adalah kehilangan waktu, pikiran dan jerih payah yang telah dicurahkan serta manejerial.


Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:


Thursday, April 24, 2014

Tabayyun (تبّين)

KLARIFIKASI DALAM ISLAM

(TABAYYUN)


Hal yang seringterjadi di masyarakat adalah banyaknya salah paham. Hal tersebut disinyalir yaitu dari adanya buruk sangka (su’udzan). Buruksangka pada akhrnya dapat membawa pelakunya mengalami berbagai masalah dalam kehidupannya. Agar terhindar dari hal tersebut, maka Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa melakukan klarifikasi (tabayyun) pada masalah yang belum ia ketahui. Hal ini tentunya dilakukan untuk menghindari adanya salah paham dalam suatu masalah.
 
Dalam halini, klarifikasi (tabayyun) suatu berita yang belumjelas benar dan salahnya senantiasa dikedepankan oleh ajaran Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang saling menghargai, harmonis dan damai. Kendatipun demikian, tabayyun dan berita memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dikarenakan, suatu berita biasanya mememiliki dua kemungkinan; benar dan salah (bohong).
Mengenai hal ini, Mustafa Amin dan Ali al-Jazim menjelaskan sebagai berikut:

اَلْخَبَرُ مَا يَصِحُّ اَنْ يُقَالَ لِقَائِلِهِ إِنَّهُ صَادِقٌ اَوْ كَاذِبٌ, فَإِنْ كَانَ الْكَلَامُ مُطَابِقًا لِلْوَاقِعِ كَانَ قَائِلُهُ صَادِقًا, وَإِنْ كَانَ غَيْرُ مُطَابِقٍ لَهُ كَانَ قَائِلُهُ كَاذِبًا.

Dari pengertian di atas dapat diambil suatu pengertian yaitu, “Suatu berita jika keluar dari seseorang mengandung dua kemungkinan; benar dan salah”. Berita dikatakan benar jika sesuai dengan “waki’” atau kenyataan. Begitu juga sebaliknya berita yang salah yaitu berita yang bertentangan dengan keadaan yang  sebenarnya terjadi. Dalam hal inilalah makanya syariat menganjurkan kepada kita untuk senantiasa melakukan cros-ceck (tabayyun) dalam setiap kabar yang kita terima, agar tidak terjadi kesalahfahaman.

Dengan disyariatkannya tabayyun, maka dalam kehidupan diharapkan dapat terwujud hal-hal diantaranya:
-          Terpeliharanyasalingtuding-menudingdalammasalah yang belumjelas.
-          Salingmenghargaisatusama lain
-          Terciptanyakondusivitasdalammasyarakat, dan
-          Terungkapnyafaktamengenaisuatuberita yang sebenarnya.

Dalam menyikapi suatau berita yang belum jelas kebenarannya, hendaknya masyarakat muslim ber-tabayyun, dengan mengambil langkah sederhana sebagai berikut:
-    Hendaknya setiap kita senantiasa berprasangka baik terhadap sesama dan menghindari su’udzon (berburuk sangka).
-   Berusaha mencari suatu bukti, yang dapat mendukung sesuatu yang diperdebatkan, sehingga kebenaran dapat diwujudkan.

Dilakukannya tabayyun yaitu agar seseorang yang mengalami suatu masalah tidak mudah menuduh orang lain, terutama pada sesuatu yang belum ia ketaui, sehingga tujuan Islam mewujudkan perdamaian dan rahmat bagi semesta alam akan segera terwujud. Amin...

Tuesday, April 22, 2014

Pengertian dan Syarat Rukun Wakaf

WAKAF

(syarat & rukun wakaf)


Wakaf termasuk salah satu ajaran Islam yang mengedepankan adanya komitmen keadilan ekonomi. Begitu pula, institusi wakaf bukanlah dipandang sesebagai tempat praktek ibadah ritual, melainkan juga memiliki dimensi sosial yang luas. Meski secara eksplisit tidak ada nas} yang berkaitan dengan wakaf, namun banyak statemen al-Qur’an maupun al-Hadits yang memotivasi kaum muslimin untuk melakukannya.  Di samping itu Hadits riwayat Bukhari menegaskan bahwa salah satu amal yang akan tetap memberi kontribusi bagi pelakunya adalah ‘amal jariyah. 
Ulama’ berbeda dalam mendefinisikan wakaf. Sayyid Sabiq,  merumuskan wakaf sebagai menahan harta dan memberikan  manfaatnya di jalan Allah. Taqiyuddin Abi Bakr lebih menekankan pada tujuan wakaf, yaitu menahan atau menghentikan  harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk taqarrub kepada Allah. 
Harta yang diwakafkan menjadi milik Allah, dan tidak boleh dihibahkan, dijual, atau diwariskan.  Jumhur berpendapat wakaf menyebabkan ‘ain (zat) benda lepas dari pemiliknya.  Namun, kalanganulama Malikiyyah memperbolehkan wakaf temporer. Menurut mereka, wakaf tidak menyebabkan ‘ain benda lepas dari pemiliknya. Wakif hanya terhalang memanfaatkan benda wakaf selama masa wakafnya belum habis.  Abu Hanifah sepakat dengan Malikiyyah bahwa wakaf tidak harus mengakibatkan benda wakaf lepas dari pemiliknya. 
Dari beberapa pendapat ulama’ di atas, dapat ditarik kongklusi bahwa substansi perwakafan adalah pemanfaatan bukan pemilikan. Tidak boleh bagi siapapun memiliki harta itu, melainkan hanya sekedar mengambil manfaat atau hasil pengelolaannya, sedangkan  benda wakaf tetap dalam wujud atau nilainya.
Adapun rukun dan syarat wakaf menurut jumhur  adalah:

1.    Wāqif (pewakaf)

Wakif harus cakap melakukan tindakan hukum, maksudnya wakif terbebas dari  halangan untuk melakukan tindakan hukum, seperti gila, atau penguasaan orang lain. H}anafiyyah mensyaratkan wakif bukan orang yang pailit kecuali mendapat ijin dari krediturnya.  Kepailitan menghalangi seseorang mewakafkan untuk kepentingan diluar dirinya, karena masih ada kewajiban untuk menghilangkan kesulitan yang ada pada dirinya.

2.    Mauquf bih (harta yang diwakafkan)

Sebagian fuqaha’ sepakat wakaf bersifat māl mutaqawwim yaitu harta yang boleh dimanfaatkan menurut syari’at. Benda wakaf harus jelas batasnya, untuk menjamin  kepastian hukum dan hak mustah}iq dalam memanfaatkan. Wakaf yang tidak jelas batasnya akan mengakibatkan kesamaran, bahkan membuka peluang terjadinya perselisihan.  Wakaf juga disyaratkan milik sempurna wakif. Wakaf yang berada dalam penguasaan banyak orang tidak sah diwakafkan. KHI pasal 215 (1) menyatakan benda wakaf adalah milik mutlak wakif. Pada pasal 217 (3) ditegaskan bahwa benda wakaf harus bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa. 

3.    Mauquf ’alaih (tujuan wakaf)

Wakaf merupakan bentuk amal ibadah yang bertujuan untuk mendekatkan diri pada Allah,  karena itu yang menjadi tujuan wakaf adalah amal kebajikan yang termasuk dalam kategori qurbah. Menurut UU 41/2004, tujuan wakaf  untuk keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Pemanfaatan wakaf untuk kemaksiatan dilarang, karena bertentangan dengan syari’ah.  Sīghat wakaf (ikrar)
Sīghat adalah kata-kata atau pernyataan wakif  untuk mewakafkan benda miliknya. Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah, ikrar wakaf tidak memerlukan qabūl dari mauquf ’alaih, baik tujuan wakafnya tertentu atau bukan.   Hal itu karena wakaf merupakan tindakan tabarru’ atau pelepasan hak milik, sehingga qabūl tidak lagi diperlukan. Di sisi lain, ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah berpendapat, jika mauquf ’alaihnya mu’ayyan, maka harus dengan qabūl.  

4.    Nadzir (pengelola wakaf)

Umumnya fiqh tidak memasukkan naz}ir sebagai rukun wakaf. Meski begitu ulama’ sepakat wakif  harus menunjuk nazir.  Menurut Rofiq,  tidak dicantumkannya naz}ir sebagai rukun karena wakaf merupakan tindakan tabarru’. Nazir bertugas mengurus, menjaga, menyalurkan hasil wakaf kepada mauquf ’alaih, ataupun melakukan setiap usaha agar benda wakaf berproduksi, dan dimanfaatkan sesuai tujuan wakaf.   Sebab tidak mungkin wakaf dapat produktif apabila tidak ada pihak yang mengelolanya.

https://syariatkita.blogspot.com/

Dapatkan Artikel Kami Gratis

Ketik email Anda di sisi:

Kami akan mengirimkannya untuk Anda

Quality Content