Islam dalam Pengambilan Keputusan

Islam adalah agama yang "Rahmatan Lil 'Alamin", keberadaanya membawa kedamaian bagi umat semesta alam. Hal ini dapat kita lihat diantaranya dalam pengambilan keputusan kita dilarang dalam kondisi labil.

Kebenaran yang Dilematis

Kebenaran dalam beberapa hal ternyata tidak selalu berdampak baik bagi pelakunya. Dalam konteks ini kita harus tetap menyampaikan kebenaran tersebut sekalipun dilematis buat kita

Islam dan Olah Raga

Disebutkan bahwa, "Orang mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah SWT., daripada mukmin yang lemah" So, keep healty, keep financial and pray

Lengkapilah Agamamu dengan Menikah

Salah satu ibadah yang enak dan berpahala banyak adalah melangsungkan pernikahan. Bagaimana tidak, karena nikah merupakan salah satu sunah para rasul "Sunanun min Sunanil Mursalin"

Memilih Teman

Teman menjadi orang yang paling mewarnai hidup kita, baik deri segi sikap tindakan dan sikap mental seseorang. Olehkarena itu Islam mengajarkan agar dalam bergaul kita benar benar berhati-hati karena "Al-Mu'asyarotu Muatsiroh"

Thursday, November 27, 2014

Jalan Menuju Allah Melalui Metode Tasawuf

CARA MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH MELALUI METODE TASAWUF

Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan hidup yang hakiki bagi manusia menurut syari’at Islam adalah tidak hanya berorientasi pada masalah dunia saja, akan tetapi jauh melebihi dari itu semua. Islam memformulasikan kehidupan bagi umatnya, agar selain di dunia dapat hidup bahagia, esensi penting lainnya yaitu mempersiapkan kebahagian hakiki di akhirat nanti.

Dalam hal ini, seseorang pertama kalinyatelah dikenalkan mengenai hakikat kehidupannya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al- Qur’an Surah al-Bayyinah ayat 5 sebagai berikut:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan Zakat”

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa hakikat dari kehidupan manusia tiada lain hanyalah untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan cara menjalankan syariat Islam dalam semua lini kehidupan. Perlu diingat sobat blogger, bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak bisa hanya dari satu sisi saja (salat dan ibadah mahdhah lainnya), akan tetapi harus balance (antara vertikal dan horizontal). Dalam arti jika kita ingin dekat dengan Tuhan, selain harus melakukan kebaktian langsung kepada-Nya, kita pun dituntut untuk berbuat baik dengan sesama kita seperti menolong orang lain.

Orang yang dari segi ubudiyahnya baik; dalam arti ibadahnya rutin bahkan amalan sunahnya selaluy dijalankan. Akan tetapi perangainya jahat, ia sering menyakiti temannya, bicaranya senantiasa menyinggung orang lain, dan suka menggunjing dan membicarakan aib orang lain. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin orang tersebut dapat dekat dengan Allah? padahal ayat di atas jelas mengajarkan keseimbangan antara ibadah mahdhah (vertikal) dan ghoiru mahdhah (horizontal).

Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah saw. dalam sebuah hadis menjelaskan:

اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

Orang muslim adalah orang yang tidak menyakiti orang muslim lainnya; baik dengan mulut yang berupa memaki, membentak dan lain sebagainya. Ataupun juga dengan tangannya seperti memukul.

Selain hal di atas, orang yang dekat dengan Tuhannya, niscaya ia akan senantiasa menjaga keseimbangan jasmani dan rohani, material spiritual, atau yang lebih luas sama dengan dunia dan akhirat. Upaya tersebut akan berhasil manakala ia mampu membawa diri mendekatkan diri dengan Ilahi Rabbi dan mampu pula adaptasi dengan lingkungan dunia yang ia jalani. Allah berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah   di anugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi.” (Q.S. Al-Qoshosh ayat: 77)

Ketika kita kelah menjalankan ketentuan agama dengan sebaik mungkin, maka tiba saatnya kita menata diri. Dalam hal ini seseorang dapat melakukan upaya pendekatan diri dengan Tuhan melalui metode tasawuf, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap Takhalli (pembersihan diri dari sifat tercela)

Tahap takhalli, merupakan tahapan dasar yang dirasa paling berat. Seseorang yang berkomitmen ingin mendekatkan diri dengan Allah, maka ia dituntut untuk dapat mengalahkan semua hawa nafsunya. Hal tersebut dikarenakan, nafsu merupakan seseutu yang prosentase besarnya justru dapat menjauhkan diri dari Allah. Hal tersebut sebagaimana dalam firman Allah:

إن ألنفس لأمارة بالسوء

Oleh karena itu, dalam tahap awal ini seseorang harus dapat menghindarkan dirinya dari segala bentk maksiat seperti menyakiti orang lain, dan menjauhi sifat-sifat negetif lainnya.

Tahap Tahalli (melakukan amaliyah kebaikan)

Tahapan ini dapat ditempuh dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang suci, dimana seseorang sudah mulai. Dalam tahapan ini hati seserrang yang sudah kosong dari dosa selanjutnya diisi dengan amal-amal kebaikan, seperti shalat puasa dan lain sebagainya. Dalam tahapan ini, seseorang dapat menempuhnya diantaranya dengan melakukan amaliah agama seperti:

1.         Shalat
Secara naluti, shalat merupakan hubungan yang sangat luar biasa antara manusia dengan Tuhannya. Dalam shalat, manusia tidak pandang bulu dituntut untuk berdiri khusuk dan tunduk kepada Allah, Tuhan pencipta alam semesta. Keadaan semacam ini akan membekalinya dengan suatu  tenaga rohani yang menimbulkan perasaan tenang, jiwa yang damai dan hati yang tentram. Disamping menyeru Tuhan, juga menemukan harapan-harapan dan ketakutan-ketakutan kita, dengan memunculkan diri yang paling dalam menuju diri kita sendiri.

Ketika shalat dapat dijalankan dengan khusuk, maka seluruh fikiran akan tenang dan terlepas dari segala urusan dunia yang membuat jiwa seseorang menjadi gelisah. Setelah menjalankan shalat, maka seseorang akan senantiasa dalam keadaan tenang sehingga secara bertahap kegelisahan itu akan mereda dan menghilang. Sehingga dengan langkah demikian seseorang lebih merasa dekat dengan Allah.

2.          Puasa
Puasa merupakan bentuk konsekuensi hamba dengan Tuhannya. Dengannya ia berkomitmen menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri mulai terbit fajar hingga terbenam matahari (magrib), karena mencari ridha Illahi. Disini keimananlah yang mendorong untuk berpuasa, sehingga ia mampu menjalankan seperti apa yang di perintahkan Allah.

Puasa sebagai salah satu inti dari ajaran Islam, telah mendorong umatnya bersifat hidup lebih disiplin dan bijaksana. Dengan demikian maka upaya mendekatkan diri dengan Tuhan semakin dekat untuk dicapai.

3.         Dzikir
Dzikir merupakan suatu aktivitas, dimana seseorang mengingat Allah dengan menyebut asma-asma yang pujian dan dapat pula memohon ampunan. Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada umatnya bahwa dzikir itu bukan hanya dilakukan dengan mengekspresikan daya ingatan yang ditampilkan dengan komat-kamit lidah sambil duduk merenung saja, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif dan kreatif. Dengan dzikir yang rutin maka tiada waktu yang terlewatkan dalam keseharian seseorang sehingga ia akan lebih dekat dengan Allah.

Dalam Al-Qur’an disebutkan:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Dengan mengingat Allah, hati orang-orang yang beriman menjadi tenang. Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang”

Tahap Tajalli (Buah Dari Ikhtiar Pendekatan Diri yaitu depan Melihat Kebesaran Allah)

Dalam tahapan ini, orang sudah mulai merasakan kedekatannya dengan Tuhannya. Hasil ini merupakan konsekuensi dari perbuatan, ucapan, sikap, gerak-gerik, martabat dan status yang baru yang kesemuanya di atasnamakan untuk Allah. Jika dalam tahapan tahalli, seseorang dituntut untuk  memfokuskan pada upaya memulai hubungan dengan manusia, maka dalam tahapan tajalli ia sudah lebih nyata dan jelas merasakan buah pendekatan diri yang dilakukannya. Dengan kata lain tajalli merupakan perasaan dimana seseorang benar-benar sudah merasa dekat dengan Allah, sehingga ia takjub akan kebesaran dan keagungannya.

Dari tahapan tahapan di atas insyaAllah kita akan lebih dekat dengan Tuhan kita, mendapatkan ridha rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita dapat menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Amin  
Jalan Menuju Allah Melalui Metode Tasawuf



Sumber-sumber Hukum Islam


SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Perkembangan zaman, menuntut adanya kemajuan dalam segala aspek kehidupan. Tuntutan zaman tersebut, tekadang justru banyak menimbulkan kemerosotan dari segi sosio-religiusitas masyarakat itu sendiri. Sebagai suatu contoh, atas nama keadilan dan HAM justru manusia menjadi hina, mereka bebas mengekspresikan diri mereka sendiri yang pada hakikatnya hal itu malah menjatuhkan martabatnya. Salah satu faktor penentu hal tersebut yaitu tiada berpegangannya mereka terhadap hukum Islam yang ada. 

Oleh karena itu, sobat sekaian yang tercinta saya akan mencoba mengulas mengenai beberapa sumber hukum Islam. Hal ini saya tujukan agar kita melek dan tidak picik terhadap aturan agama yang seharusnya kita aplikasikan dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini, para ulama berpendapat bahwa sumber-sumber hukum yang melandasi Islam semuanya ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunah (Hadis), Ijma', Qiyas. Berikut saya jelaskan satu persatu:

AL-QUR'AN

Al-Qur'an ialah kalam Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan sebagai sumber hukum serta pedoman hidup bagi pemeluk Islam, membacanya sebagai ibadah kepada Allah.

Dengan keterangan tersebut di atas, maka firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. serta nabi-nabi yang lain tidak dinamakan Al-Qur'an. Dengan demikian, firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui ilham ataupun mimpi seperti hadis Qudsi,maka tidak pula dinamakan Al-Qur'an, dan membacanyapun belum tentu bernilai ibadah.

Al-Qur'an mempunyai nama-nama lain seperti, Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqan artinya yang membedakan antara yang haq dan yang batil dan Az-Zikru artinya peringatan. Dan masih banyak lagi nama-nama Al-Qur'an. 

Al-Qur’an sebagai dasar hukum, secara garis besarnya berisi lima pokok ajaran sebagai berikut:

a.    Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, qadha dan qadar yang baik dan yang buruk.
b.        Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c.       Janji dan ancaman; Al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang mau menerima dan mengamalkan isi Al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.
d.        Hukum yang dibutuhkan dalam pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
e.        Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yaitu orang-orang yang shaleh seperti nabi-nabi dan rasul-rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah dan hukum-hukum-Nya. Maksud sejarah ini ialah sebagai tuntunan dan teladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak.

Allah swt. menurunkan Al-Qur'an tiada lain supaya dijadikan dasar hukum dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan segala perintah-Nya dan ditinggalkan segala larangan-Nya, sebagaimana firman Allah:
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِيْۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ
"Maka berpegangteguhlah engkau kepada (agama) yang telah diwahyukan kepadamu." (QS. Az-Zukhruf/43: 43)
يٰۤاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu." (QS. Al-Mã'idah/5: 67)
وَهٰذَا كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ مُبٰرَكٌ فَاتَّبِعُوْهُ وَاتَّقُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
"Dan ini adalah Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan dengan penuh berkah. Ikutilah, dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al-An‘ãm/6: 155)

SUNAH (HADIS)

Sunah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.Sedangkan sunah menurut istilah syara' ialah perkataan Nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, serta nabi tidak menegurnya. Hal ini sebagai bukti bahwa perbuatan tersebut hukumnya tidak dilarang.

Sunah atau hadis merupakan dasar hukum kedua setelah Al-Qur’an. Dengan kata lain, jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan detail hukum mengenai suatu masalah, maka yang dijadikan rujukan adalah hadis. Hadis inilah yang merupakan wujud manifestasi dari penjelasan hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Sebagai suatu contoh, Al-Qur’an menyuruh segenapa umat Islam mengerjakan shalat sebagaimana dalam ayat:
أقيمو الصلاة....
Yang berarti dirikanlah shalat. Akan tetapi detail pengerjaannya tidak disebutkan disana. Oleh karena itu kita harus merujuk pada sumber hukum Islam yang kedua yakni hadis. Dalam hal ini hadis menjelaskan sebagaimana dalam sabda nabi:
صلوا كما رأيتموني أصلي
Yang berarti, shalatlah kalian semua sebagaimana aku (Rasulullah) mengerjakan shalat. Dengan demikian, shalat yang kita jalankan haruslah benar-benar sesuai dengan shalat yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

IJMA’

Ijma' menurut bahasa, artinya: sepakat, setuju atau sependapat, sedang menurut istilah ialah:

اِتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرٍ مِنَ الْاَعْصَارِ عَلٰى اَمْرٍ مِن الْاُمُوْرِ.
"Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muham-mad, sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).

Ijma' umat itu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.         Ijma' Qauli
Ijma' qauli (ucapan); yaitu ijma' di mana para ulama yang ahli ijtihad ijtihad menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma' ini juga disebut dengan ijma' qath'i.
b.        Ijma’ Sukuti
Ijma' sukuti (diam); ialah diamnya para mujtahid terhadap suatu persoalan, mereka tidak mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu bukan karena takut atau malu. Ijma' ini disebut juga ijma' dzanni.

Ijma' dapat menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al-Qur'an dan Al-Hadis.Dan ijma' tidak akan terbentuk kecuali telah disepakati oleh semua ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nash yang qath'i (Al-Qur'an dan hadis mutawatir).

QIYAS

Qiyas menurut bahasa artinya, mengukur sesuatu dengan lainnya dan mempersamakannya. Menurut istilah, qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan suatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.

Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat setelah Al-Qur'an, Hadis dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian berdasarkan Al-Qur’an:
فَاعْتَبِرُوْا يٰۤا اُولِى الْاَبْصَارِ
"Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan."

Demikian sobat, semoga bermanfaat. Bagi yang pengen komen,. Silakan join atau like ke posting ini thanks... 
Sumber Hukum Islam

Wednesday, November 26, 2014

Kumpulan Hadis Tentang Bekam

KUMPULAN HADIS TENTANG BEKAM

Meskipun perkembangan dunia medis semakin mengalami peningkatan, akan tetapi pengobatan Tibbun Nabawi (pengobatan ala Nabi) tidak kalah diminatinya. Indikasi tersebut dapat kita lihat dari semakin menjamurnya praktik-praktik pengobatan yang dianggap efektif, mujarab dan yang pasti ekonomis alias dapat jidangkau oleh semua kalangan. Salah satu praktik pengobatan tersebut adalah bekam atau cantuk.

Bekam merupakan pengobatan dengan cara mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh. Kendatipun demikian, ternyata masih banyak orang yang kurang tahu dasar atau asal muasal bekam tersebut. Sehingga mereka terkadang ada yang menganggap bahwa hal tersebut belum pernah diajarkan oleh Nabi saw. Akan tetapi, sobat sekalian sekarang dapat menemukan jawaban tentang kekurang tahuannya dalam artikel ini. Berikut saya mencoba mengutip beberapa hadis yang mu’tamat (dapat dijadikan panduan hukum) karena sumber hadisnya adalah shahih. Hadis-hadis tersebut antara lain:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ قَالَ لَنَا عَمْرٌو أَوَّلُ شَيْءٍ سَمِعْتُ عَطَاءً يَقُولُ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ حَدَّثَنِي طَاوُسٌ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فَقُلْتُ لَعَلَّهُ سَمِعَهُ مِنْهُمَا

“Ali bin Abdullah bercerita kepada kami, Sufyan berkata; Amru berkata, kepada kami, ‘Hal yang pertama kali aku dengar dari Atho' adalah saat dia berkata, ‘Aku mendengar Ibnu Abbas ra. berkata, ‘Rasulullah saw. berbekam saat sedang ihram’. Kemudian aku mendengar dia berkata, telah menceritakan kepada saya Thowus dari Ibnu 'Abbas ra. Maka berkata, ‘Barangkali dia mendengar hadis tersebut dari keduanya." (Shahih Bukhari, No. 1704)

حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَعْرَجِ عَنْ ابْنِ بُحَيْنَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ بِلَحْيِ جَمَلٍ فِي وَسَطِ رَأْسِهِ

“Khalid bin Mukhlad bercerita kepada kami, Sulaiman bin Bilal dari Alqamah dari Abdurrahman Al A'raj dari Ibnu Buhainah ra. bercerita kepada kami dengan berkata, “Nabi saw. berbekam saat sedang ihram ketika berada di Lahyi Jamal pada begian tengah kepala Beliau".

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Mu'alla bin Asad bercerita kepada kami, Wuhaib dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas ra. bercerita kepada kami, bahwa Nabi saw. berbekam ketika sedang berihram dan juga berbekam ketika sedang berpuasa. (Shahih Bukhari, No. 1802)

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Abu Ma'mar bercerita kepada kami, Abdul Warits bercerita kepada kami, Ayyub dari ikrimah Ikrimah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbekam ketika sedang berpuasa. (Shahih Bukhari, No. 1705)

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ ثَابِتًا الْبُنَانِيَّ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ وَزَادَ شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Adam bin Abu Iyas telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata, aku mendengar Tsabit Al Bunaniy berkata; Anas bin Malik ra. pernah ditanya; apakah engkau membenci berbekam ketika berpuasa? Dia menjawab, "Tidak, kecuali jika fisik lemah". Syababah menambahkan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, "Yaitu pada masa Nabi saw. " (Shahih Bukhari, No. 1804)

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ رَأَيْتُ أَبِي اشْتَرَى عَبْدًا حَجَّامًا فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَثَمَنِ الدَّمِ وَنَهَى عَنْ الْوَاشِمَةِ وَالْمَوْشُومَةِ وَآكِلِ الرِّبَا وَمُوكِلِهِ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ

“Abu Al Walid telah menceritakan kepada kami, Syu'bah dari 'Aun bin Abu Juhaifah berkata, aku melihat bapakku membeli seorang budak sebagai tukang bekam lalu aku tanyakan kepadanya maka dia berkata; Nabi saw. telah melarang harga (uang hasil jual beli) anjing, darah dan melarang orang yang membuat tato dan yang minta ditato dan pemakan riba' dan yang meminjam riba serta melaknat pembuat patung". (Shahih Bukhari, No. 1944)

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ طَاوُسٍ وَعَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ

“Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim menceritakan kepada kami, Ishaq berkata, telah mengabarkan kepada kami -sementara dua orang yang lain berkata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Amru dari Thawus dan Atha` dari Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw. berbekam saat beliau sedang Ihram. (Shahih Bukhari, No. 2087)

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ شَيْبَةَ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ الْعَنَزِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا حَدَّثَتْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ الْجَنَابَةِ وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمِنْ الْحِجَامَةِ وَمِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ

“Utsman bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Zakariyya telah menceritakan kepada kami Mush'ab bin Abi Syaibah dari Thalq bin Habib Al-'Anazi dari Abdullah bin Az-Zubair dari Aisyah bahwa dia menceritakn kepadanya, bahwa Nabi saw. mandi ibadah karena empat alasan: junub, hari Jum'at, berbekam, dan memandikan mayat. (Sunan Abu Daud, No. 294)



Monday, November 17, 2014

Karakteristik Manusia Dalam Perspektif Islam

Karakteristik Manusia Dalam Perspektif Islam

Manusia memang diciptakan dengan kondisi serba “protes.” Saya nyatakan demikian karena pada dasarnya manusia jikalau dihadapkan pada sesuatu yang tidak menguntungkannya, maka ia akan bereaksi layaknya orang yang kebakaran jenggotnya. Ia berdalih dan mengeluarkan berbagai argumentasi atas nama rakyat, padahal apa yang ia usung sejatinya merupakan aspirasi indivudunya belaka saja. Rakyat ia jadikan dalih dan tameng guna memuluskan modusnya. Jika diprosentase mungkin kepentingan rakyat yang ia perjuangkan hanya sebesar 5 %, sedangkan selebihnya adalah murni untuk kepentingannya sendiri. Naudzu billah

Sobat blogger yang seakidah, Allah sebenarnya telah menggambarkan karakteristik manusia dengan sesuatu yang “Serba Ngewohke” (Red. Jawa). Bagaimana tidak ketika ia diberi kelapangan, kekayaan dan dalam kondisi yang berpunya pelitnya minta ampun. Sedekah saja ia itung-itung padahal ia dalam kondisi yang berlimpahan materi. Akan tetapi giliran ia diberi cobaan oleh Allah, ia resah, gundah dan tidak menerima cobaan yang diujikan oleh Allah beginga. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai berikut:

إِن الإنسان خلق هلوعا، اذا مسه الخير منوعا واذا مسه الشر جزوعا الا المصلين، الذين هم فى صلاتهم دائمون

Dari ayat di atas jelaskan sobat, jikalau karakter manusia pada dasarnya adalah serakan, kikir, suka mengeluh dan suka berontak. Akan tetapi terdapat pengecualian yaitu bagi orang yang sholat, yang mana ia tekan dan kontinyu dalam melaksanakannya. Hal tersebut tiada lain karena orang sholat yang dikerjakan oleh seseorang akan dapat menjaga orang tersebut terjerumus dari tindak laku yang dihina dan dilarang oleh agama. (baca. Innassholata tanha... dst)

Menilik sifat manusia yang selalu membantah, ia jarang menerima kebenaran sekalipun kebenaran tersebut telah nyata berada di depannya. Rasulullah menggambar karakteristik negatif manusia tersebut seperti perumpamaan air hujan. Sobat blogger, kalian tahu nggak hujan itu turunnya ginama, jelas kan??? Nahwa ia akan turun ke bawah , ia turun menggenangi dan membasahi permukaan bumi ayang ada di bawahnya.  Akan tetapi permukaan yang terguyur oleh air hujan tersebut adakalanya yang dapat menyimpan air hujan tersebut dengan baik, sehinnga ia dapat menyimpan air sebagai cadangan hidup, ia juga dapat menumbuhka tumbuhan yang ada di atasnya, karena ia menjadi tanah yang subur.

Di sisi lain, ada pula tanah yang hanya terguyur oleh hujan akan tetapi manakala hujannya telah mereda ia kembali kering. Ia tidak bisa memanfaatkan tetesan air hujan yang menggenangi permukaannya. Kiranya demikian perumpaman karakteristik manusia. Ada yang mau menerima nasihat kebaikan orang lain melakui ajaran agama yang disampaikannya, namun ada pula orang yang ikut pengajian mungkin dapat dikatakan intensitasnya tinngi dalam mengikutinya aka tetapi setelah ia keluar dari majelis pengajian tersebut ia kembali menjadi orang yang asing dan tidak mau mengamalkan ajaran  Islam yang ia dengan melaluui telinganya tersebut.

Dalam hal ini karakteristik pribadi manusia tercermin dalam hadis Rasulullah saw,  sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ إِسْحَاقُ وَكَانَ مِنْهَا طَائِفَةٌ قَيَّلَتْ الْمَاءَ قَاعٌ يَعْلُوهُ الْمَاءُ وَالصَّفْصَفُ الْمُسْتَوِي مِنْ الْأَرْضِ

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al 'Ala` berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Usamah dari Buraid bin Abdullah dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengan membawanya adalah seperti hujan yang lebat yang turun mengenai tanah. Diantara tanah itu ada jenis yang dapat menyerap air sehingga dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Dan di antaranya ada tanah yang keras lalu menahan air (tergenang) sehingga dapat diminum oleh manusia, memberi minum hewan ternak dan untuk menyiram tanaman. Dan yang lain ada permukaan tanah yang berbentuk lembah yang tidak dapat menahan air dan juga tidak dapat menumbuhkan tanaman. Perumpamaan itu adalah seperti orang yang faham agama Allah dan dapat memanfa'atkan apa yang aku diutus dengannya, dia mempelajarinya dan mengajarkannya, dan juga perumpamaan orang yang tidak dapat mengangkat derajat dan tidak menerima hidayah Allah dengan apa yang aku diutus dengannya". Berkata Abu Abdullah; Ishaq berkata: "Dan diantara jenis tanah itu ada yang berbentuk lembah yang dapat menampung air hingga penuh dan diantaranya ada padang sahara yang datar". (dikutip dari Shahih Bukhari, hadis No. 77)

Bersambung insya Allah,...
Karakteristik Manusia Dalam Perspektif Islam


Thursday, November 13, 2014

Uang Muka Dalam Islam

Ketentuan Uang Muka dalam Islam

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Hal tersebut tercermin dari berbagai aturan yang telah menjadi syariat Islam bagi umat pemeluknya. Dalam masalah ini, muamalah yang semakin berkembang tak luput pula campur tangan dari keilmuan Islam yang telah jaya di masa lampau.
 
Sobat blogger, Islam sejatinya telah mengajarkan kita berbagai macam teknik dan pengetahuan sebagai bekal kita menjalani kehidupan di dunia ini. Salah satu bukti mudah mengenai hal tersebut adalah, jauh sebelum dikenal teori tentang ekonomi Islam telah terlebih dahulu memprakarsainya salah satunya yaitu melalui adanya akad “Syufah” atau yang sering kita kenal dengan istilah Uang Muka (DP).

Kendatipun demikian, syufah dalam dunia Islam telah diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hal inilah yang saya rasa terdapat perbedaan dalam praktik yang berkembang di masyarakat dewasa ini, dimana asas saling tidak merugikan, saling menjaga kepercayaan dan asas norma kesopanan dalam bertransaksi sudah tidak lagi diindahkan. Akibatnya praktik penalangan uang muka acapkali merugikan salah satu pihak.


Guna menghindari hal yang saling merugikan, Islam telah membuat peraturan yang tentunya membawa kemaslahatan bagi mereka yang menerapkannya. Oleh karena itu, marilaha sobat yang seakidah kita kembali pada prinsip yang dahulu telah dicontohkan oleh junjungan kita Nabi Agung Muhammad saw. agar kita tidak hanya menggapai kebahagiaan semu dalam bertransaksi di dunia, tetapi kita juga akan mendapat ridho-Nya. Amin.

Sobat sekalian, berikut saya kutipkan hadis shahih yang mengatur beberapa ketentuan tentang syufah agar dapat menjadi refleksi bagi kita semua:

1.   Syufah dilakukan pada barang dagangan (benda) yang belum dibagi. Dalam arti apabila suatu barng telah ditetapkan pembagiannya, sebagai contoh tanah warisan telah dibagi kepada beberapa ahli warisnya, maka seseorang tidak diperkenankan melakukan akan syufah atau memberikan DP pembayaran untuk tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan hadis:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَا لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Musaddad bercerita kepada kami, Abdul Wahid bercerita kepada kami, Ma'mar bercerita kepada kami dari Az Zuhriy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Jabir bin 'Abdullah ra. ia berkata, ‘Nabi saw. telah menetapkan hak syuf'ah pada setiap harta yang belum dibagi. Apabila terdapat pembatas dan jalan yang terpisah maka tidak ada syuf'ah". (Dikutip dari Shahih Bukhari No. 2097)
2.     Dalam kasus di atas, maka jika bagian warisannya akan dijual hendaknya yang paling utama diberi hak melakukan DP (syufah pembelian) adalah saudaranya yang paling dekat, sebelum ia menawarkan kepada orang lain. Hal ini sebagaiman adalam hadis berikut:

حَدَّثَنَا الْمَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ قَالَ وَقَفْتُ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَجَاءَ الْمِسْوَرُ بْنُ مَخْرَمَةَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى إِحْدَى مَنْكِبَيَّ إِذْ جَاءَ أَبُو رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .فَقَالَ يَا سَعْدُ ابْتَعْ مِنِّي بَيْتَيَّ فِي دَارِكَ فَقَالَ سَعْدٌ وَاللَّهِ مَا أَبْتَاعُهُمَا فَقَالَ الْمِسْوَرُ وَاللَّهِ لَتَبْتَاعَنَّهُمَا فَقَالَ سَعْدٌ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُكَ عَلَى أَرْبَعَةِ آلَافٍ مُنَجَّمَةً أَوْ مُقَطَّعَةً قَالَ أَبُو رَافِعٍ لَقَدْ أُعْطِيتُ بِهَا خَمْسَ مِائَةِ دِينَارٍ وَلَوْلَا أَنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْجَارُ أَحَقُّ بِسَقَبِهِ مَا أَعْطَيْتُكَهَا بِأَرْبَعَةِ آلَافٍ وَأَنَا أُعْطَى بِهَا خَمْسَ مِائَةِ دِينَارٍ فَأَعْطَاهَا إِيَّاهُ
“Al-Makkiy bin Ibrahim bercerita kepadaku, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepada saya Ibrahim bin Maisarah dari 'Amru bin Asy-Syarid berkata, “Aku pernah duduk bersama Sa'ad bin Abi Waqash lalu datang Al Miswar bin Makhramah kemudian dia meletakkan tangannya pada salah satu pundakku lalu datang Abu Rafi' maula Nabi saw. seraya berkata, "Wahai Sa'ad, belilah dua buah rumahku yang ada di kampungmu!" Sa'ad berkata, "Demi Allah, aku tidak akan membelinya". Lalu Al Miswar berkata, "Demi Allah, aku yang akan membelinya". Maka Saad berkata, "Demi Allah, aku tidak akan membelinya lebih dari empat ribu keping". Abu Rafi' berkata, "Sungguh aku telah memberikan kepadanya lima ratus dinar, seandainya aku tidak mendengar Nabi saw. bersabda, "Tetangga lebih patut dalam hal kedekatan, tidaklah akan aku berikan rumah itu dengan harga empat ribu keeping sekalipun, sedangkan kali ini hanya aku dapatkan lima ratus dinar." Dia pun lantas memberikan rumahnya. (Dikutip dari Shahih Bikhari, Hadis No. 2098)
3.     Jika terdapat beberapa pembeli yang berlainan, maka pembeli yang lebih berhak melakukan pembayaran di muka (DP) adalah kerabat penjual yang paling dekat, jika kerabat yang paling dekat tidak ada maka kerabat yang lebih dekat dengannya, begitu seterusnya. Hal ini sebagaiman adisabdakan oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya sebagai berikut:

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ح وحَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ قَالَ سَمِعْتُ طَلْحَةَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Hajjaj bercerita kepada kami, telah menceritakan kepada kami Syu'bah (terdapat perpindahan sanad), telah menceritakan kepadaku Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Syababah telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Abu 'Imran ia berkata, Aku mendengar Tholhah bin Abdullah dari Aisyah ra. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, aku punya dua tetangga, kepada siapa dari keduanya yang paling berhak untuk aku beri hadiah?" Beliau bersabda, "Kepada yang paling dekat pintu rumahnya darimu". (Dikutip dari Shahih Bikhari, Hadis No. 2099)

Berdasarkan beberapa hadis di atas, dapat kita pahami bahwa akad pengajuan pembayaran dimuka (DP) atau syufah terhadap barang tertentu maka harus dilakukan berdasarkan urutan sebagaimana yang telah disebutkan. Hal inilah yang berbeda dengan mekanisme DP yang ada di masyarakat dewasa ini, sehingga manakala kita menerapkan ketentuan ini diharapka akan lebih terbina kemaslahatan di masyarakan, jauh dari rasa menyakiti dan saling membenci. Demikian semog bermanfaat. Wallahu Alam


Dapatkan Artikel Kami Gratis

Ketik email Anda di sisi:

Kami akan mengirimkannya untuk Anda

Quality Content