MENREFLEKSI KEWAJIBAN ZAKAT
(zakat cermin pribadi islami )
Zakat berasal dari kata “زكـاة”yang berarti
sedekahdan kebersihan (Yunus: 106). Sedangkan dalam istilah, zakat biasa
diartikan sebagai suatu kadar harta tertentu, yang harus diberikan kepada
kelompokyang berhak menerima (mustahik) dengan syarat-syarat tertentu (Rifai:
123).
Zakat merupakan
pengambilan sebagian harta dari muslim untuk kesejahteraan muslim dan oleh
orang muslim (Syadzali, 1991: 160). Pada hakekatnya, zakat merupakan salah satu
ibadah kepada Allah SWT setelah manusia dikaruniai keberhasilan dalam bekerja
dengan melimpahnya harta benda. Bagi orang muslim, pelunasan zakat semata-mata
sebagai cermin kualitas imannya kepada Allah SWT. Kewajiban zakat merupakan kewajiban agama
seperti halnya sholat dan menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, setiap
muslim yang harta kekayaannya telah mencapai “nishab dan haul” berkewajiban
untuk mengeluarkan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal.
Adapun pengertian zakat
secara terminologi, sebagaimana yang telah diungkap oleh Imam Taqiyuddin Abi
Bakar bin Muhammad al-Husaini (172), adalah:
اَلزَّكَـا
ةُ فِى الشَّرْعِ هِيَ اِسْــمٌ لِقَدْرٍمِنَ الْمَـالِ اَلْمَخْصُوْصِ يُصْرَفُ لِأَصْـنَا
فٍ مَخْصــُوْصَةٍ بِشـَرَائِطَ
Artinya:
Zakat menurut syara’ adalah nama
suatu ukuran harta tertentu yang diberikan kepada asnaf-asnaf
(golongan-golongan) tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula.
Dari beberapa definisi
tentang Zakat tersebut di atas dengan menggunakan istilah-istilah yang
berbeda-beda tetapi pada dasarnya adalah sama, kesamaan tersebut ditekankan
pada kalimat mengeluarkan harta dari suatu harta untuk diberikan kepada orang
yang berhak menerimanya.
Dalam Islam, zakatmenempati kedudukan yang sangat penting dan mendasar. Begitu pentingnya
kewajiban zakat, sehingga perintah menunaikan zakat dalam Al-Qur’an sering
disertai dengan suatu ancaman yang tegas bagi mereka yang mengabaikan perintah
tersebut. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam surah at-Taubah ayat 34 sebagai berikut:
... وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya:
“… Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapatkan) siksa yang pedih.” (QS. Al-Baqarah 34)
Disisi lain, perintah
menunaikan zakat juga sering dibarengi dengan perintah mengerjakan sholat. Hal
ini tentunya mengajarkan kepada kita, mengenai adanya hubungan yang sangat
erat, dimana ibadah shalot bermuara vertikal (langsung) kepada Allah, sedangkan
zakat lebih mengedepankan tali sesama manusia (humanis responsibility).
Dengan demikian, orang yang mengerjakan kewajiban terhadap Allah yang
berupa sholat, akan tetapi mengabaikan sisi sosialitasnya seperti kewajiban
zakat, enggan memberikan bantuan; makanan, maka dapat dipastikan bahwa
sejatinya mereka adalah “pendusta agama”(al-Ma’un).
Ref:
o Yunus, Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung
o Rifa’i, Muh, Tarjamah Khulasah
Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra
o Syadzali, Munawir et. al., Zakat dan
Pajak,Cet. Ke-II, Jakarta: Bina Rena Pariwara