Amal Tergantung Pada Niatnya
Sahabat syariatkita yang dimuliakan Allah, banyak orang
yang beranggapan bahwa dengan tindakan dan amal yang mereka kerjakan, mereka
akan dapat terlepas dari siksa neraka dan mereka akan mendapatkan nilai pahala
sesuai dengan yang dijanjikan oleh Allah kepadanya. Anggapan dan harapan
demikian tentunya sah-sah saja, karena tidak ada aturan yang melarangnya. Akan
tetapi pernahkan sahabat merenung, terbersit dalam sanubari kita yang terdalam
kira-kira semua amal ibadah, perbuatan baik, bantuan renivasi masjid, mushalla
dan santunan fakir miskin kita telah diterima oleh Allah Ta‘ala? Jika kita pernah merenungkannya, tentunya kita tidak
akan menjadi orang yang menggantungkan diri pada amal perbuatan. hal tersebut
dikarenakan, diterimanya amal perbuatan semua tergantung pada Allah semata.
Dalam arti Allah dapat menerima amal ibadah hamba-Nya dan menolak ibadah
hamba-Nya yang lain. Ini tiada lain karena Allah memiliki sifat “muridan”, yang
berarti Allah Maha Berkehendak terhadap apapun yang ada di dunia ini.
Terlepas dari hal di atas, akan tetapi sunnatullah
mengajarkan kita bahwa ketentuan sebab akibat tentunya juga turut mempengaruhi
kesahihan amal dan diterimanya amal tersebut di sisi-Nya. Air pastinya mengalir
dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, angis tentunya berhembus
dari suhu yang bertekanan tingghi ke suhu yang bertekanan rendah. Orang akan
dapat mencapai apa yang ia cita-citakan manakala ia berusaha menggapainya,
itulah sunnatullah. Begitu pula dengan amal perbuatan, syariat mengajarkan agar
seseorang dalam mengerjakan sesuatunya, hendaklah ia mendasarinya karena Allah,
karena Allah-lah tujuan seseorang beramal. Dengan demikian manakala amaliah
kita telah berjalan di jalur yang telah diajarkan oleh syariat, maka akal dapat
menerimanya bawha amal kita sudah sempurna.
Bardasarkan hal itulah, Imam Ali (kw) pernah mengeluarkan
statemennya, “Nahnu nahkumu bidz-dzowahir, Wallahu yahkumu bis-saroir”, yang
beraarti apa yang terjadi dalam kehidupan manusia, meliputi hal hal yang kasap
mata, maka ia akan dinilai oleh sesuatu yang tampak tersebut. Orang dikatakan
mencuri manakala ada bukti dan saksi yang mengatakan bahwa orang tersebut
benar-benar mencuri, sekalipun pada kenyataannya orang tersebut tidak mencuri. Orang
dikatakan rapi dan sopan manakala tampilannya bersih, tingkah lakunya baik dan
baunya wangi. Akan tetapi orang yang demikian ini secara hakikat bukan berarti
adalah orang yang baik, karena banyak orang yang baunya wangi, pakaiannya necis
akan tetapi hatinya busuk, koruptor, dan suka menipu orang lain. Adanya
statemen tersebut fungsinya yaitu untuk mengatur tatanan jehidupan dunia,
karena manusia hanya dapat menjangkau sesuatu yang kasap mata, dibalik itu
semua Allah-lah yang mengetahui segalanya.
Kembali ke pokok pembahasan, jika secara syariat amal
dikatakan sah manakala telah dilakukan sesuai dengan aturan agama, maka dalam
hal ini orang yang melakukan semua jenis aktivitas, maka validitas dan
keabsahan apa yang dilakukannya tersebut harus bertolak pada barometer niat
yang melandasinya. Berkenaan dengan hal ini Allah berfirman dalam Surah Al-
A’raf/07: 29 sebagai berikut:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي
بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
“Katakanlah, ‘Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan
(katakanlah), ‘Luruskanlah muka (diri) mu di setiap salat dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan
kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya).’"
Dari ayat di atas dapat kita ketahui bahwa Allah
memerintahkan pada umat-Nya, agar amal yang dikerjakan hendaklah hanya untuk
Dia semata. Dengan demikian amal ibadah yang tidak ditujukan dam dimurnikan
karena Allah, maka dapat dipastikan bahwa amal tersebut terkandung unsur lain,
yang secara syariat hal tersebut telah keluar dari aturan yang digariskannya.
Amal yang demikian ini sudah pasti dipertanyakan keabsahannya.
Sebagai satu contoh, orang yang ketika shalat
sendirian, ia shalatnya ala kadarnya; tidak fasih bacaannya, gerakannya tidak
tumakninah, dan yang parah lagi waktu pengerjaannya amat sebentar. Pada suatu
ketika karena ia shalat di mushalla umum, yang mana di tempat tersebut ada
banyak orang yang melihatnya, maka orang tersebut dalam mengerjakan shalatnya dinbikin
lama, bacaannya difasih-fasihkan. Maka amal yang demikian iti tentu berbeda
nilainya dimata Allah, karena yang niat yang melandasinya pun juga berbeda.
Contoh kasusu lain, banyak orang yang beramal ketika ditampakkan dihadapan
orang banyak ia seolah-olah adalah orang yang paling dermawan, akan tetapi
ketika jauh dari penilaian orang lain sepeserpun ia tidak mau beramal.
Fenomena semacam ini, ternyata tidak hanya
terjadi pada zaman sekarang saja. Jauh sebelum kita, yaitu pada zaman
Rasulullah saw. ternyata juga telah muncul sinyalemen-sinyalemen yang
mengindikasikan hal tersebut. Kejadian tersebut terekam dalam sebuah hadis
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai berikut:
عَنْ
أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلمَ يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ .
“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al
Khattab ra. berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung
niatnya. Dan sesungguhnya setiap
orang (akan dibalas) berdasarkan
apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang
ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”
Nampak jelas sekali Rasulullah mengajarkan kepada
umatnya, agar apa yang dikerjakan hendaklah berpangkan dan mermuara kepada
Allah. Dapat diambil pengertian pula bahwa sahnya semua aktivitas yang kita
jalankan yaitu tiada lain karena faktor niat yang mendaarinya. Orang yang
beramal karena Allah maka amalnya akan diterima Allah, orang yang beramal
karena orang lain, maka ia akan mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain
tetapi ia tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah Ta‘ala.
Adapun yang melandasi atau
sabab wurud hadis di atas adalah, ketika Rasulullah melakukan hujrah dari kota
Mekah menuju Madinah, tenyata ada seorang sahabat yang ikut hijrah dalam
rombongan beliau. Akan tetapi yang melandasi hijrahnya adalah karena adanya
salah satu rombongan hirjar wanita yang ditaksirnya. Hijrah yang dilakukan
bukan karena ajakan Nabi saw. oleh
karena itu, Rasulullah mengelluarkan hadis tersebut.
Hadis sebagaimana di atas,
dimaksudkan oleh Rasulullah agar setiapa manusia selalu mendasari niatnya
karena Allah semata. Bagaimana dengan kita sahabat sekalian, sudahkan apa yang
kita lakukan dilandasi karena Allah semata? Jika belum marilah kita mulai dari
sekarang. Sekian semoga bermanfaat.
0 Komentar:
Post a Comment