Cara Menghindar Dari Riba
Sahabat syariatkita, sebagaimana dalam artikel sebelumnya
kita telah membicarakan bahwa Allah SWT mengharamkan riba sebagaimana yang
marak terjadi di masyarakat seperti dalam hukum bank titil. Keharaman tersebut
terjadi karena disinyalir mengandung unsur riba yang tenutnya merugikan bagi
pihak lain. Akan tetapi, mungkin kita bertanya-tanya, di zaman sekarang ini
mana mungkin ada orang yang mau memberikan sumbangan atau pinjaman uang dengan
ketulusan hati, tidak dibarengi tendensi lain yaitu untuk mengambil kemanfaatan
dari transaksi pinjam-meminjam tersebut. Kebanyakan mereka juga tidak mengatahui hukum riba dan bunga bank, sehingga banyak terjerumus ke dalam praktik utang piutang yang diharamkan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan saya jelaskan
beberapa faktor yang dapat menyelamatkan kita dari unsur riba, sehingga
manakala ada dua belah pihak bertransaksi dalam masalah utang piutang, maka
pihak yang berutang tidak merasa keberatan dengan adanya bunga yang dijanjikan,
begitu pula sebaliknya pihak yang berpiutang tetap mendapatkan ganjaran pahala karena
memberikan pertolongan kepada orang lain tanpa harus terlibat unsur riba yang
tentunya diharamkan oleh agama. Langsung saja, hal-hal tersebut adalah sebagai
berikut:
Mengedepankan prinsip tolong menolong
Dalam hal ini, ketika seorang yang satu dengan yang lain
menyadari bahwa memberikan pertolongan adalah wajib bagi umat Islam, maka dapat
dipastikan bahwa ketika ada saudara kita seiman yang datang kerumah untuk
keperluan meminjam uang maka sudak sepantasnya kita meminjaminya. Kita tentu
akan memberikan pinjaman kepada orang tersebut dengan rasa legowo, ikhlas dan
tanpa mengharapkan imbalan dari pemberian pertolongan tersebut. Berkenaan dengan
hal ini Rasulullah SAW bersabda:
تعاونوا
على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
“Saling tolong menolonglah kalian
dalam hal kebaikan dan takwa, dan jangan lah kalian saling tolong menolong
dalam hal dosa dan permusuhan.”
Dengan demikian, ketika kita sadar betul akan pesan agama, bahwa memberikan
pertolongan kepada sesama muslim merupakan salah satu ajarannya, maka tentu
kita akan dengan senang hati memberikan pertolongan tersebut, tanpa harus
menyaratkan adanya tambahab utang piutang yang jelas mengandung riba dan haram
hukumnya.
Meyakini bahwa memberikan pinjaman kepada orang lain, hakikatnya adalah menolong diri kita sendiri
Jika kita menyadari bahwa hidup itu tidak selamanya
menuai kebahagiaan, hidup tidak selamanya kaya, dalam hidup pasti ada
permasalahan, maka kita tentu akan merasa iba manakala ada saudara kita yang
datang dengan mengeluhkan permasalahan keuangan. Kita pasti akan menempatkan
diri kita dalam suasana dan perasaan yang sedang dialami oleh saudara kita yang
sedang kesusahan dalam masalah keuangannya, sehingga manakala ia meminta
pinjaman uang, maka dengan senang hati tentu kita akan meminjaminya.
Atau boleh jadi kita semasa di dunianya senantiasa
mengalami kejayaan, kecukupan, dan derajat tinggi dimata orang lain, akan
tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa hal tersebbut akan berlangsung juga
hingga ke akhirat manakala kita enggan memberikan pertolongan kepada saudara
kita yang sedang membutuhkan bantuan keuangan dari kita. Padahal dlama sebuah
hadis jelas disebutkan:
من
نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا، نفس الله عنه كربة من كرب الأخرة
“Barang siapa turut memberikan
kelonggaran (pertolongan) seorang mukmin semasa di dunia, maka Allah akan
menghilangkan kesuakarannya kelak di hari kiamat.”
Dengan demikian jelas bahwa jika kita mau menolong kesukaran dan masalah duniawi
yang sedang dihadapi oleh saudara kita
yang mukmin, tidak terkecuali memberikan pertolongan dalam masalah hutang
piutang, maka Allah kelak akan memberikan pertolongannya kelak di akhirat. Atas
dasar inilah, maka ketika kita memberikan peertolongan berupa pinjaman uang
kepada orang lain maka kita sama sekali akan mendasarinya karena Allah dan
mengharapkan rida-Nya, sehingga tidak terjebak dalam praktik lintah darat dan
riba.
Jika terpaksa harus memberikan tambahan piutang, maka tambahan tersebut ditak boleh menjadi kesepakatan kedua belah pihak
Yang saya maksud yaitu, adanya tambahan yang tidak menjadi
kesepakatan atau tidak dipersyaratkan dalam akad, akan tetapi tambahan piutang
tesebut merupakan keinginan dari pihak pegutang kepada pihak yang berpiutang,
maka hal tersebut bukanlah termasuk kedalam kategori riba. Tambahan tersebut
hanya sebagai rasa terimakasih si pengutang kepada orang yang telah
mengutanginya saja, sehingga hal semacam ini diperbolehkan.
Berkaitan dengan hal ini, pernah suatu ketika salah satu
sahabat Nabi yang bernama Abu Hurairah menceritakan bahwa Nabi SAW pernah
meminjam seekor unta yang berusia sekian tahun kepada salah seorang sahabatnya,
akan tetapi manakala sahabat tersebut menemui Nabi dan bermaksud menagih
untanya, Nabi tidak mendapati unta yang umur dan jenisnya sama dengan unta yang
beliau pinjam, beliau hanya mendapati unta dengan usia lebih tua dan dengan
kualitas yang lebih baik dibanding unta yang dahulu pernah dipinjam oleh
beliau. Kemudian nabi memerintahkan sahabatnya untuk memberikan unta tersebut
kepada orang tersebut seraya bersabda:
إن
خيركم أحسنكم قضاء
“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah mereka yang paling baik ketika membayar
utangnya. (HR. Muslim).
Dari apa yang disabdakan oleh Nabi sebagaimana hadits di
atas, maka dapat dipastikan bahwa membayarkan utang dengan inisiatif sendiri,
dengan suatu tambahan yang terbaik sebagai rasa terimakasih maka yang demikian
ini bukanlah termasuk kedalam praktik riba yang dilarang oleh agama. Dengan demikian,
riba
yang diharamkan karena di dalamnya
mengandung unsur zalim (merugikan
pihak lain). Akan tetapi
karena
bentuk zalim yang terjadi dalam praktik utang piutang itu
tidak dapat diukur dan diamati kadar dan jumlahnya dengan kasat mata (panca
indera),maka para ulama fikih memaknai zalim dalam praktik riba tersebut dengan
sautu tambahan piutang yang diperjanjikan dimuka atau ketika akan utang piutang berlangsung.
Karena dalam muamalah sehari hari kita sering mendapati
hal-hal yang berkenaan dengan utang piutang, akan tetapi untuk menghindari dari
praktik riba di dalamnya teramat sulit, sebagaimana dalam praktik bank
konvensional, maka alangkah berhari-hatinya jika kita mau melangkah dengan bank
yang mengedepankan prinsip syariah, dengan husnuzzhan bahwa tata aturan yang
dipraktikkan di dalamnya benar-benar dapat menyelamatkan diri kita dari riba
yang dilarang oleh agama. Sekian semoga bermanfaat. Amin...
0 Komentar:
Post a Comment