Monday, March 30, 2020

Hubungan Fiqih dan Tasawuf dalam Aqidah Islam

Hubungan Antara Fiqih dan Tasawuf dalam Aqidah Islam


Sahabat syariatkita, fikih sejatinya merupakan suatu tatanan yang mengatur kita dalam manjalankan syariat. Dimana permasalahan dan tatacara dalam beragama semuanya sudah diatur di dalam fiqih. Sedangkan Tasawuf merupakan ilmu menjernihkan hati, yang berperan memperhalus kualitas suatu ibadah, sehingga dalam menjalankan syariat Islam kita dapat terhindar dari apa yang dinamakan dengan syirik, ujub, takabur dan sum’ah.

Peranan Fiqih dan Tasawuf dalam Islam

Peranan fiqih yaitu menata ibadah dan muamalah dari segi dzohir atau luar, sedangkan tasawuf menata dari dalam diri atau dari hati. Ibarat suatu badan usaha, dikatakan legal manakala telah memiliki surat ijin operasional. Ibarat pengemudi, ia dikatakan memahami ketentuan berkendara manakala telah mengantongi SIM. Dalam syariat khuhusnya masalah ibadah dan muamalah, fiqih-lah yang memiliki legitimasi terhadap sah atau tidaknya ibadah seseorang. Akan tetapi kualitas pelayanan suatu badan usaha, ramah atau tidaknya pelayanan, bagaimana ia mendapatkan tender apakah dengan cara yang halal atau justru dengan cara menyuap panitia lelang, ini menjadi domain tasawuf. 

hubungan antara fiqih dan tasawuf dalam aqidah Islam


Begitu pula seorang pengendara, ketika ia berkendara di jalanan apakah ia akan mematuhi rambu-rambu lalu lintas hanya ketika ada polisi saja, apakah ia akan berjalan pelan manakala terdapat banyak kerumunan masa terutama orang-orang tua, dan ataukah ia akan menuntun dan mematikan mesin motornya manakala ia berjalan di perumahan sedangkan waktunya sudah larut malam. Ini semua tentunya menjadi domain tasawuf dan tasawuflah yang memiliki legitimasi dalam masalah etika dan estetika dalam beribadah dan bermuamalah. 

Lantas bagaimana dengan orang-orang yang mengatakan, “Kita kembali langsung kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah?” Baca dan klik artikelnya di sini.

Ketika fiqih memegang legitimasi dari segi hukum, tasawuf memegang kendali atas kualitas ibadah (khusyu’ tidaknya sholat, ikhlas tidaknya sedekah seseorang), maka dikenallah istilah yang dinamakan syariah, toriqoh dan hakikat sebagaimana dikemukakan oleh Imam Atho’illah dalam kitabnya; Al-Hikam. Orang yang hanya melihat ibadah dari maqom syariat saja karena belum sampai pada maqom thoriqoh, maka biasanya ia akan menganggap orang yang sudah sampai maqom tasawud beribadahnya menyimpang. Begitu pula sebaliknya, orang yang hanya melihat dari segi tasawuf tanpa ia mendalami makna tasawuf sendiri akan melihat orang yang dalam tahapan syariat adalah orang yang kurang beretika di dalam ibadahnya.

Hal tersebut dikarenakan, syariat dalam beragama memegang peranan yang simpel saja. Seperti sholat hanya dengan mengenakan penutup aurat saja, yaitu batas antara lutut dan pusat ia secara fiqih sudah dianggap sah, sedangkan dalam kacamata tasawuf orang yang demikian merupakan orang yang tidak memiliki etika dikarenakan ketika kita menghadap seorang pejabat saja harus mengenakan pakaian baik yang kita miliki apalagi sholat yang notabene adalam menghadap Sang Maha Pencipta. Sehingga diperlukan perpaduan antara syariat dan tasawuf dengan ilmunya masing-masing, jadi tidak asal-asalan saja. 
   

Sinergitas peran dan posisi fiqih dan tasawuf dalam Islam

Syariat dalam ibadah diibaratkan sebagai perahu atau kapal, toriqoh diibaratkan sebagai lautan dan hakikat atau haqiqoh diibaratkan sebagai mutiara. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Atho’illah dalam kitabnya:

وَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيَنةٍ وَالطَّارِقَةُ كَاالْبَحْرِ ثُمَّ الْحَقِيَقُة دُرٌّ غُلَى

"Syariat laksana bahtera, thoriqoh laksana lautan dan haqikat (haqiqoh) laksana untaian mutiara"

Dalam hal ini seseorang yang hendak mendapatkan mutiara sudah barang tentu ia harus menggunakan bahtera. Setelah ia memiliki bahtera barulah ia dapat berselancar mengarungi dalamnya samudera dan mengambil mutiara dari dalam lautan. 

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang sering berargumen tanpa dilandasi ilmu agama dengan mengatakan, “Saya kan bisa mendapatkan mutiara sebanyak dan sekehendak saya hanya dengan pergi ke toko mutiara saja.” Baca artikelnya klik di sini.

Akan tetapi kita juga perlu ingat bahwasanya sampai kapanpun yang namanya perahu tidak akan bisa berlayar manakala hanya ditaruh di daratan, tanpa membawanya ke lautan. Setelah sampai ke lautan ia haus menebar jaring, memasang alat-alat yang diperlukan agar ikan ataupun mutiara yang menjadi bidikannya dapat berhasil ditangkap dan dinaikkan ke atas kapal. Setalah hal ini dilakukan maka barulai ia dapat merasakan enaknya ikan yang ia tangkap, mendapatkan indahnya mutiara yang berhasil ia ambil dari dalam lautan. Begitulan hubungannya antara syariat, thoriqoh dan haqiqoh (hakikat). 

Orang yang telah mengikrarkan dirinya dengan kalimah syahadat, bahwasanya tidak ada Ilah (Tuhan) yang Pantas disembah selain Dia, dan bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah utusanya dengan mengucapkan:

اشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمدا رسول الله

Maka menurut Imam Atho’illah ia diibaratkan seperti orang sudah memiliki bahtera atau kapal. Akan tetapi ia tidak akan bisa menjalankan syariat agama Islam manakala ia tidak bisa menjalankan kapal yang ia miliki. Setelah ia berhasil menjalankan kapalnya di lautan (yang dalam posisi ini disebut toriqoh), maka ia pun harus terus menjaga kapalnya agar senantiasa dalam keadaan aman, tidak bocor di tengaah lautan dan tidak pecah saat dihantap badai. Ia juga harus memastikan semua kendali di dalam kapal berfungsi dengan baik, bahan bakarnya cukup serta ada orang atau nahkoda yang telah tersertifikasi yang dapat mengemudikan kapal tersebut. Sehingga dalam kapal atau syariah haruslan dilengkapi dengan Standar Operating Procedure (SOP) yang baik. Inilah gambaran kompleksitas syariah yang mengatur sedemikian banyaknya cakupan ibadah dan muamalah kita dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Selanjutnya setelah kapal dipastikan dapat berlayar sesuai dengan SOP, maka agar ia dapat menghasilkan tangkapan ikan atau mendapatkan mutiara dari dalam lautan (yang dalam hal ini yaitu wushul dengan Allah Subhanahu Wata’ala) maka sudah seharusnya ia memahami karakteristik lautan, kedalamannya, di wilayah mana saja yang terdapat gunung es agar kapalnya tidak menabrak, serta di daerah mana saja yang terdapat kandungan mutiara dan ikan yang bisa ia tangkap. Sehingga dalam hal ini seseorang yang hendak wushul kepada Allah haruslah memahami ilmu toriqoh.

Dengan demikian dalam menjalankan syariat Islam, mutlak diperlukan sinergitas antara fiqih dan tasawuf serta peran masing-masing. Jadi tidak parsial atau berjalan sendiri-sendiri. Dengan sinergitas maka beribadah dapat berjalankan sesuai tuntunan akidah Islam yang benar, dan juga dalam pelaksanaan tidak kelihatan kaku.

Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:

Source:
Kitab Al-Hikam Karya Imam Ibnu Atho'illah As-Skandary

0 Komentar:

Post a Comment

Dapatkan Artikel Kami Gratis

Ketik email Anda di sisi:

Kami akan mengirimkannya untuk Anda

Quality Content