SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Para
pakar hukum Islam berpendapat bahwa sumber-sumber hukum Islam ada empat, yaitu:
Al-Qur'an, Sunah (Hadis), Ijma', Qiyas.
Keempat sumber hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
A. AL-QUR'AN
1. Pengertian Al-Qur'an
Al-Qur'an
ialah kalam Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan sumber hukum serta sebagai pedoman hidup
bagi pemeluk Islam, membacanya sebagai ibadah kepada Allah.
Dari segi bahasa, Al-Qur'an merupakan isim masdar yang berasal dari kata:
قَرَأَ ـ يَقْرَأُ ـ قُرْأَنٌا
Yang berarti bacaan. Dalam konteks ini, Al-Qur'an lebih dari sekedar bacaan saja, akan tetapi merupakan kitab suci yang menjadi pedoman dan petunjuk bagi orang yang bertakwa. Yaitu orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah swt., dan menjauhi semua larangan-Nya. Kandungan yang terdapat di dalam Al-Qur'an semuanya merupakan petunjuk dari Allah swt., dan tidak ada keraguan sama sekali dalam kebenaran ajaran yang termuat di dalamnya.
Dari keterangan tersebut di atas, maka firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa as.dan Nabi Isa as. serta nabi-nabi yang
lain tidak dinamakan Al-Qur'an. Dengan demikian, firman Allah yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad saw.melalui ilham ataupun mimpi seperti hadis Qudsi,maka
tidak pula dinamakan Al-Qur'an, dan membacanyapun belum tentu bernilai ibadah.
Al-Qur'an mempunyai nama-nama lain seperti:
Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqan artinya yang membedakan antara yang haq dan
yang batil, dan Az-Zikru artinya peringatan, dan masih banyak lagi nama-nama Al-Qur'an lainnya.
2. Sebab-sebab Turunnya Al-Qur’an
Mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur'an
adalah sangat penting sekali, yaitu bagi orang yang ingin mengetahui
hukum-hukum atau ilmu-ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur'an. Hal tersebut
didasarkan pada dua sebab yaitu:
a. Untuk mengetahui kemukjizatan Al-Qur'an. Perlu diketahui
suasana ketika ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan,
baik keadaan ayatnya, keadaan Nabi Muhammad saw., yang menerima dan
membawa ayat-ayat tersebut, maupun keadaan seluruhnya.
b.
Tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur'an
dapat mendatangkan keragu-raguan, dan dapat pula menyebabkan ayat-ayat yang terang dan
jelas maksudnya terkadang menjadi samar, sehingga dikhawatirkan akan timbul
perselisihan.
Ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah
saw., ialah sebagai penerang atau penjelas terhadap suatu perkara yang pada waktu
itu Rasulullah saw., belum mengetahui hukumnya. Maka ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan
karena ada suatu kejadian atau pertanyaan
dari para sahabat nabi, yang mana nabi sendiri belum mengetahui
hukumnya. Sedikit sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan tanpa adanya suatu
sebab yang melatarbelakanginya atau tanpa ada pertanyaan yang mendahuluinya.
Ayat-ayat Al-Qur'an yang turun karena ada pertanyaan
dari sahabat nabi antara lain terdapat pada ayat-ayat yang memiliki ciri atau
didahului oleh lafal "Yas'alùnaka (mereka bertanya kepadamu)." Dan
ayat-ayat semacam ini banyak sekali kita jumpai, misalnya:
وَيَسْئَلُوْنَكَ
مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ الْعَفْوَ. (البقرة: ٢١٩)
"Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus)
mereka infakkan. Katakanlah, 'Kelebihan (dari apa yang diperlukan) '."(QS. Al-Baqarah/2: 219)
وَيَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ الْيَتٰمٰى قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ. (البقرة: ٢٢٠)
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak
yatim. Katakanlah, 'Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!'" (QS. Al-Baqarah/2: 220)
وَيَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ اَذًى. (البقرة: ٢٢٢)
"Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid.
Katakanlah, 'Itu adalah sesuatu yang kotor) .(QS. Al-Baqarah/2: 222)
وَيَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَاۤ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ
اِلَّا قَلِيْلًا. (الاسراء: ٨٥)
"Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh.
Katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan hanya sedikit'." (QS. Al-Isrã'/17: 85)
Ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan karena
ada suatu kejadian, misalnya pada suatu ketika salah seorang sahabat yang
bernama Mursyidan Al-Ghanawi mencintai seorang wanita musyrik bernama Inaq yang
mana keduanya ingin mengikat dalam suatu perkawinan.Ia mohon izin kepada
Rasulullah untuk beristri dengan perempuan musyrik yang dicintainya itu. Ketika
itu, Rasulullah saw. tidak dapat memberikan jawabannya karena belum ada hukum
yang menetapkan tentang hal itu. Maka turunlah ayat sebagai berikut:
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ
مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى
يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ.
(البقرة: ٢٢١)
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum
mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik
daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu
nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum
mereka beriman.Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu."(QS. Al-Baqarah/2: 221)
3. Garis-garis Besar Isi Al-Qur'an
Pokok-pokok
isi Al-Qur'an ada lima, yaitu:
a. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, qadha
dan qadar yang baik dan yang buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang
menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman; Al-Qur'an menjanjikan
pahala bagi orang yang mau menerima dan mengamalkan isi Al-Qur'an dan mengancam
mereka yang mengingkarinya dengan siksa.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup
bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada
Allah, yaitu orang-orang yang shaleh seperti nabi-nabi dan rasul-rasul, juga
sejarah mereka yang mengingkari agama Allah dan hukum-hukum-Nya. Maksud sejarah
ini ialah sebagai tuntunan dan teladan bagi orang-orang yang hendak mencari
kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak.
4. Al-Qur’an Sebagai Dasar Hukum
Allah swt., menurunkan Al-Qur'an tiada lain
supaya dijadikan dasar hukum dan disampaikan kepada umat manusia untuk
diamalkan segala perintah-Nya dan ditinggalkan segala larangan-Nya, sebagaimana
firman Allah:
فَاسْتَمْسِكْ
بِالَّذِيْۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ. (الزخرف: ۴۳)
"Maka berpegangteguhlah engkau kepada (agama) yang telah
diwahyukan kepadamu." (QS. Az-Zukhruf/43: 43)
يٰۤاَيُّهَا
الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ. (المائدة: ٦٧)
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu."(QS. Al-Mã'idah/5: 67)
وَهٰذَا
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ مُبٰرَكٌ فَاتَّبِعُوْهُ وَاتَّقُوْا لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُوْنَ. (الانعام: ١٥٥)
"Dan ini adalah Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan
dengan penuh berkah. Ikutilah, dan bertakwalah agar kamu mendapat rahmat."(QS. Al-An‘ãm/6: 155)
a. Prinsip Dasar Al-Qur’an dalam Menerapkan Hukum
Al-Qur'an diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad saw., sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Dalam menetapkan
perintah dan larangan Al-Qur'an selalu berpedoman pada dua hal, yaitu:
1).
Tidak memberatkan, sebagaimana firman Allah swt.:
لَا
يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا. (البقرة: ٢٨٦)
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah/2: 286)
يُرِيْدُ
اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. (البقرة: ١٨٥)
"Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Dengan dasar itulah, maka kita diperbolehkan:
a) Mengqashar salat (dari empat menjadi dua rakaat) dan
menjamak (mengumpulkan dua salat), yang masing-masing apabila dalam bepergian
sesuai dengan syarat-syaratnya.
b)
Boleh tidak berpuasa apabila sedang bepergian jauh.
c)
Boleh bertayamum
sebagai ganti wudhu.
d)
Boleh makan makanan yang diharamkan, jika dalam keadaan terpaksa.
2). Dalam menetapkan dan merubah suatu hukum tidak dilakukan
sekaligus, melainkan dengan cara berangsur-angsur, seperti pada penetapan
larangan minum minuman keras dan perjudian, sebagaimana firman Allah swt.:
يَسْئَلُوْنَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَاۤ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَاِثْمُهُمَاۤ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا. (البقره: ٢١٩)
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang minuman
yang memabukkan dan tentang perjudian. Katakanlah olehmu, bahwa minuman yang
memabukkan dan perjudian itu dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi
dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (QS. Al-Baqarah/2: 219)
Setelah ayat di atas diturunkan, kemudian datanglah
fase yang kedua sebagaimana firman Allah swt.:
يٰۤـاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى. (النساء:
٤٣)
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati
salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk."(QS. An-Nisã'/4: 43)
Kemudian datanglah fase ketiga yang
menjelaskan larangan keras terhadap arak dan judi. Larangan ini diterapkan
karena sudah banyak orang yang meninggalkan kebiasaan minum minuman keras dan
berjudi, disisi lain yaitu, karena sebelumnya sudah pernah diturunkan ayat yang
mengindikasikan keharamannya, yaitu ayat yang pertama dan kedua, sebagaimana
firman Allah swt.:
ياۤاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ
وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ. (المائدة: ٩٠)
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman
keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak
panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung."(QS. Al-Mã'idah/5: 90)
Demikianlah Allah swt., membuat dan menetapkan
hukum secara berangsur-angsur dan sebaliknya dalam pembinaan hukumpun secara berangsur-angsur pula, misalnya
pengumuman dasar peperangan dan jihad di masa permulaan Islam di kota
Madinah. Misalnya firman Allah:
اُذِنَ
لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْا وَاِنَّ اللهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ
لَقَدِيْرٌ. (الحج: ٣٩)
"Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu."(QS. Al-Hajj/22: 39)
Kemudian diperluas keterangan tentang
berbagai persoalan yang berhubungan dengan peperangan, seperti perintah
persiapan dengan segala perbekalan, hukum-hukum orang yang di tawan dan ghanimah (harta
rampasan) serta lain-lainnya.
Di antara firman Allah swt., yang menjelaska
perbekalan dan peralatan perang, adalah sebagai berikut:
وَاَعِدُّوْا
لَهُمْ مَّا اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَّمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ. (الانفال:
٦٠)
"Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk
menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda." (QS. Al-Anfãl/8: 60)
Sedangkan ayat yang
menjelaskan tentang tawanan perang, diatur sebagaimana firman Allah swt., berikut
ini:
مَا
كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّكُوْنَ لَهُۤ اَسْرٰى حَتّٰى يُـثْخِنَ فِى الْاَرْضِ
تُرِيْدُوْنَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللهُ يُرِيْدُ الْاٰخِرَةَ. (الانفال: ٦٧)
"Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan
sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu) ."(QS. Al-Anfãl/8: 67|)
Adapun ayat yang menerangkan tentang ghanimah (harta
rampasan perang) dan pembagiannya diatur sebagaimana firman Allah:
وَاعْلَمُوْۤا
اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَنَّ لِلهِ خُمُسَهٗ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى
وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ. (الانفال: ٤١)
"Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh
sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak
yatim, orang miskin dan ibnu sabil."(QS. Al-Anfãl/8: 41)
b. Memetik Pelajaran dari Al-Qur’an
Selain mengetahui sebab-sebab turunnya
Al-Qur'an, kita dituntut pula mengetahui cara mengambil pelajaran yang terdapat
di dalamnya, terutama hal-hal yang berhubungan dengan hukum. Kita mempelajari
ushul fiqih gunanya tiada lain untuk mengetahui bagaimana cara kita mengambil
hukum dari ayat-ayat Al-Qur'an.
Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa macam ayat
yang menunjukkan suatu hukum, akan tetapi masing-masing dalalahnya berbeda.
Adapun dalalah yang menunjukkan suatu hukum di dalam Al-Qur'an dapat dibedakan
menjadi:
1).
Ada yang perintahnya jelas, akan tetapi caranya tidak
jelas, seperti ayat:
وَاَقِيْمُوا
الصَّلٰوةَ. (البقرة: ٤۳)
"Dan laksanakanlah salat." (QS. Al-Baqarah/2: 43)
Dalam di atas perintah salat jelas, tetapi
carapelaksanakannya tidak disebutkan.
2).
Ada yang perintahnya jelas, tetapi ukurannya tidak jelas,
misalnya:
وَاٰتُوا
الزَّكٰوةَ. (البقرة: ٤٣)
"Tunaikanlah zakat."(QS. Al-Baqarah/2: 43)
Ayat di atas jelas
perintahnya yaitu tentang zakat, tetapi ukurandan batasan nishabnya tidak diterangkan di dalam ayat ini.
3). Adapula ayat yang dalalahnya jelas, misalnya tentang menyapu
muka dan tangan dalam tayamum, tetapi batasnya tidak jelas, sampai di mana yang
disapu, seperti firman Allah:
فَامْسَحُوْا
بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ. (النساء: ٤٣)
"Usaplah
wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu." (QS. An-Nisã'/4: 43)
Kalau kita menjumpai ayat-ayat semacam ini,
maka perlu sekali adanya penjelasan lebih lanjut. Dalam hal ini tidak ada
seorangpun yang berhak menjelaskannya, kecuali hanya Nabi Muhammad saw. seorang,
sebagaimana firman Allah:
وَاَنْزَلْنَاۤ
اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ. (النحل: ٤٤)
"Dan
Kami turunkan Az-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada
manusia."(QS. An-Nahl/16:
44)
Az-Zikru oleh sebagian ulama diartikan dengan
segala sesuatu yang datang dari Rasulullah, baik itu berupa sabdanya,
perbuatannya dan sebagainya yang menjadi tafsir bagi Al-Qur'an, atau yang
dinamakandengan "Sunah".
B. SUNAH (HADIS)
1. Pengertian Sunah
Sunah
menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sedangkan sunah menurut istilah
syara' ialah perkataan Nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya
yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh
nabi, serta nabi tidak menegurnya. Hal ini sebagai bukti bahwa perbuatan tersebut
hukumnya tidak dilarang.
2. Kategorisasi dan Pembagian Sunah
a. Kategorisasi Sunah
Khabar atau sunah pada umumnya dapat dikategorisasikan menjadi tiga yaitu:
1).
Khabar yang pasti kebenarannya, seperti apa yang
datang dari Allah, rasul-Nya dan khabar yang diriwayatkan dengan jalan
mutawatir.
2). Khabar yang pasti salahnya, yaitu pemberitaan tentang
hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh akal, seperti khabar yang menyatakan
antara hidup dan mati dapat berkumpul. Atau khabar yang bertentangan dengan
ketentuan syariat, seperti mengakui menjadi rasul, akan tetapi tidak disertai
dengan mukjizat.
3). Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya
seperti khabar-khabar yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan
mana yang kuat, benarnya atau bohongnya. Atau kadang-kadang kuat benarnya,
tetapi tidak pasti (qath'i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan
kadang-kadang juga kuat bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan, seperti pemberitaan orang fasiq.
b. Pembagian Sunah
Dalam hal ini, sunah dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1). Sunah Qauliyah (sabda-sabda
Rasulullah saw), (2). Sunah Fi‘liyah (perbuatan Rasulullah saw), dan (3). Sunah
Taqririyah (diamnya Rasulullah saw., terhadap suatu ucapan atau perbuatan sahabat).
1). Sunah Qauliyah
Sunah Qauliyah yaitu perkataan Nabi saw. yang menerangkan hukum-hukum agama
dan maksud isi Al-Qur'an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan
juga menganjurkan akhlak yang mulia. Sunah qauliyah (ucapan) ini dinamakan juga
dengan Hadis Nabi saw.
2).
Sunah Fi‘liyah
Sunah Fi‘liyah
yaitu perbuatan Nabi saw. yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya
cara berwudhu, salat dan sebagainya. Sunah fi‘liyah itu terbagi sebagai berikut:
a).
Perbuatan Nabi saw. yang bersifat
gerakan jiwa, gerakan hati,dan
gerakan tubuh, seperti: bernapas, duduk, berjalan dan sebagainya. Perbuatan
semacam ini tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan hukum, dan tidak pula ada
hubungannya dengan suatu perintah, larangan atau teladan.
b). Perbuatan Nabi saw. yang bersifat kebiasaan, seperti:
cara-cara makan, tidur dan sebagainya. Perbuatan semacam ini pun tidak ada
hubungannya dengan perintah, larangan dan teladan; kecuali kalau ada perintah atau
anjuran nabi untuk mengikuti cara-cara tersebut.
c). Perbuatan Nabi saw. yang khusus untuk beliau sendiri,
seperti menyambungkan puasa dengan tidak berbuka dan beristri lebih dari empat.
Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengikutinya.
d). Perbuatan Nabi saw.yang bersifat menjelaskan hukum yang mujmal (global), seperti: salat dan hajinya yang mana
keduanya dapat menjelaskan sabdanya:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِيْ اُصَلِّيْ. (رواه
البخاري)
"Salatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku salat."(HR. Bukhari). Dan hadis:
خُذُوْا
مَنَاسِكَكُمْ. (رواه الدارمي)
"Ambillah
daripadaku hal-hal (perlakuan) ibadah hajimu."(HR. Ad-Darimi)
Hukum suatu perbuatan yang dikerjakan oleh
Nabi saw. adalah sama dengan hukum yang dijelaskan, baik dari segi wajib maupun
mandubnya, sebagaimana penjelasan tentang cara salat dan haji.
e). Perbuatan Nabi saw.yang dilakukan terhadap orang lain sebagai
suatu hukuman, seperti: menahan orang,atau mengusahakan milik orang lain. Di
sini perlu mengetahui sebab-sebabnya, kalau berlaku orang yang dakwa-mendakwa,
maka tentu berlaku sebagai keputusan.
f).
Pebuatan Nabi saw. yang menunjukkan suatu kebolehan, seperti:
berwudhu dengan satu kali, dua kali dan tiga kali.
3).
Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah ialah berdiam dirinya Nabi saw. ketika melihat suatu
perbuatan dari para sahabat, baik perbuatan tersebut mereka kerjakan di hadapan
nabi atau tidak, akan tetapi berita mengenai perbuatan tersebut sampai kepada
nabi.
Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan oleh nabi dianggap sama dengan
perkataan dan perbuatan Nabi sendiri, dan dapat dijadikan sebagai hujjah bagi
seluruh umat.
Adapun
syarat sahnya taqrir atau ketetapan nabi ialah orang tersebut benar-benar
tunduk kepada aturan syara', bukan orang kafir atau munafik.
Contoh-contoh taqrir antara lain
sebagaiberikut:
·
Mempergunakan uang yang dibuat oleh orang kafir.
·
Mempergunakan harta yang diusahakan mereka ketika masih
kafir.
·
Membiarkan zikir dengan suara keras sesudah salat.
Selain tiga macam sunah sebagaimana
disebutkan di atas, sebagian besar ulama menambahkan satu lagi yaitu sunah
hammiyah. Sunah hammiyah ialah sesuatu yang sudah direncanakan oleh Nabi saw., akan tetapi
belum belum dikerjakan sehingga nabi meninggal dunia. Misalnya beliau ingin melakukan puasa pada tanggal 9
Muharram, tetapi belum dilakukan beliau telah wafat terlebih dahulu. Walaupun
keinginan melaksanakan puasa pada tanggal 9 Muharram belum jadi dilaksanakan
oleh nabi, namun sebagian besar ulama menganggap sunahnya berpuasa pada tanggal
9 Muharram.
c. Sunah Ditinjau dari Segi Sanadnya
Khabar jika ditinjau dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau sedikitnya
orang yang meriwayatkan hasis, dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Khabar
Mutawatir, dan Khabar Ahad.
1). Khabar Mutawatir
خَبَرُ
جَمْعٍ مَحْسُوْسٍ يَمْتَنِعُ تَوَاطُئُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ مِنْ حَيْثُ
كَثْرَتِهِمْ.
"Mutawatir
ialah khabar yang diriwayatkan oleh banyak orang, tentang sesuatu yang
dipercaya oleh pancainderanya yang menurut adat mereka tidak mungkin berbuat
dusta disebabkan banyaknya jumlah mereka."
Bagian khabar atau hadis ini tingkatannya hampir disamakan dengan Al-Qur'an,
terutama khabar mutawatir yang tidak ada khilafnya lagi dan yang sudah pasti
benar dan sahnya.
Yang dimaksud khabar mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh golongan
demi golongan, sehingga dalam tingkatan dari semenjak sahabat, tabi‘in dan tabi‘it tabi‘in dan
seterusnya, tidak kurang dari sepuluh orang yang mendengarkan atau meriwayatkannya,
hingga sampai kepada rawi yang terahir yang menyusun kitab hadis itu.Misalnya
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik dan lain-lainnya.
Adapun syarat-syarat khabar mutawatir di
antaranya sebagai berikut:
a). Mereka yang meriwayatkan khabar tersebut, benar-benar
mengetahui kenyataan dengan pasti, baik dengan cara melihat atau mendengar
sendiri.
b). Jumlah orang yang meriwayatkan harus jumlah yang menurut
adat tidak mungkin berbuat dusta, tidak harus dengan jumlah yang terbatas,
misalnya 7 atau 12 orang, asal saja dapat memberikan pengetahuan ilmu dharuri,
yakni mau tidak mau mesti dapat diterimanya tak dapat ditolak.
c).
Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad-sanad
sampai akhir sanad-sanad. Misalnya, pada lapisan pertama sanadnya berjumlah 100
orang rawi, dipertengahan sanadnya 90 orang rawi, dan di akhir sanadnya 110
orang rawi. Yang dimaksud dengan sama banyak, yaitu bukan persamaan bilangan,
maka tidak dipermasalahkan jika di antara lapisan-lapisannya kurang sedikit.
Khabar mutawatir ini dapat dibagi menjadi
dua, yautu mutawatir lafdhi dan mutawatir maknawi.
Mutawatir lafdhi ialah mutawatir yang
lafal-lafal hadisnya sama atau hampir sama, misalnya sabda Nabi saw.:
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. (متفق
عليه)
"Barang
siapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaklah ia bersiap-siap
mengambil tempak duduknya (masuk) neraka."(HR. Bukhari dan Muslim)
Keterangan
¡ Hadisdi atas diriwayatkan lebih dari seratus
orang sahabat Rasulullah.
¡ Lafal-lafal ataupun matan hadis yang diceritakan
oleh masing-masing rawi hampir semuanya sama dengan contoh-contoh tersebut. Di antaranya
ada yang berbunyi sebagai berikut:
مَنْ
تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ اَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
(رواه ابن ماجه)
"Barang
siapa mengada-adakan omongan atas namaku tentang sesuatu yang belum pernah
kukatakan, maka hendaklah ia bersiap-siapmengambil tempat duduknya (masuk)
neraka."(HR. Ibnu Majah)
Ada pula yang matan hadisnya sebagai berikut:
مَنْ
قَالَ عَلَيَّ مَا لَمْ اَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. (رواه
الحاكم)
"Barang
siapa berkata atas namaku tentang sesuatu yang belum pernah kukatakan, maka
hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya (masuk) neraka."(HR. Al-Hakim)
Hadis-hadis tersebut di atas, diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadis
yang lafalnya agak berbeda-beda, akan tetapi maknanya sama.
Mutawatir maknawi ialah hadis
yang menunjukkan perbedaan kata dan arti, akan tetapi dari hadis tersebut dapat
diambil suatu makna yang umum, yakni satu makna dan tujuan.
Seperti hadis yang menerangkan tentang salat maghrib tiga rakaat,
sebagaimana diterangkan sebagai berikut:
1.
Satu riwayat menerangkan, bahwa Nabi saw. salat maghrib
tiga rakaat di rumah atau dalam hadhar (di dalam rumahnya sendiri).
2.
Satu riwayat yang lainmenunjukkan, bahwa ketika dalam
perjalamnan Nabi saw. salat maghrib tiga rakaat.
3. Satu riwayat lainmenerangkan bahwa Nabi saw. salat
maghrib tiga rakaat di Mekah.
4. Satu riwayat menerangkan bahwa Nabi saw. salat maghrib
tiga rakaat di Madinah.
5. Satu riwayat mengabarkan, bahwa para sahabatsalatmaghrib
tiga rakaat, dan hal tersebut diketahui oleh Nabi.
Hadis tersebut di atas ceritanya
berbeda-beda, akantetapi maksudnya sama, yakni menerangkan bahwa bilangan salat
maghrib itu tiga rakaat.
d. Sunah Ditinjau dari Segi Kualitasnya
Khabar atau sunah jika ditinjau dari segi kualitasnya, yakni sifat
orang-orang yang meriwayatkannya, maka terbagi menjadi tiga:
1).
Hadis Shahih, yaitu hadis yang mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
§ Sanadnya tidak terputus-putus.
§ Orang atau rawi yang meriwayatkan bersifat
adil, sempurna ingatan dan catatannya (dhabith), tidak suka berbuat
ganjil dan bertentangan engan orang banyak.
§ Tidak terdapat cacat pada orangdan isi hadisnya
dengan cacat yang dapat membahayakan.
§ Keadaannya tidak dibenci dan ditolak oleh
ahli-ahli hadis.
Contoh-contoh hadis shahih, ialah semua yang
terdapat pada kitab-kitab hadis Imam Bukhari dan Muslim.
2).
Hadis Hasan,yaitu hadis yang memenuhi syarat hadis shahih, tetapi orang yang
meriwayatkan kurang kuat ingatannya. Hadis semacam ini boleh diterima sekalipun
tingkat hafalan rawinya agak kurang sempurna, asal tidak berpenyakit yang
membahayakan dan tidak berbuat ganjil atau bertentangan dengan kebanyakan orang
(syadz).
3). Hadis Dha'if,yaitu hadis yang tidak lengkap syaratnya,
yakni tidak memenuhi syarat yang terdapat dalam hadis shahih dan hadis hasan.
3. Sunah Sebagai Hujjah
Sebagai hujjah hukum Islam, sunah itu mempunyai dua fungsi:
a).
Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur'an; sebagai-mana
firman Allah:
وَاَنْزَلْنَاۤ
اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ. (النحل: ٤٤)
"Dan
Kami turunkan Az-Zikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka."(QS. An-Naœl/16: 44)
Sunah dapat menjadi hujjah dikarenakan sebagian
besar hukum yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur'an masih gersifat
global.Dalam hal ini, penjelasan lebih lanjut mengenai suatu hukum diperlukan
adanya keterangan dari nabi yang berupa hadis.
Sebagai contoh, perintah salat dan zakat
dalam Al-Qur'anmasih merupakan perintah mengerjakan dan mengeluarkan secara
umum, sedang tata cara pelaksanaanya tidak disebutkan di sana. Maka cara
pelaksanaannya membutuhkan adanya penjelasan dari Rasulullah saw.
b).
Sunah dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu hukum.
Hal ini dapat kita ketahui dari haramnya binatang yang berkuku tajam, padahal
di dalam Al-Qur'an tidak kita dapati hukum yang demikian ini.
Kedudukan hadis atau sunah dalam kasusu seperti ini
dapat dijadikan sebagai hukumsyara'
dengan sendirinya sebagaimana sabda Nabi saw.:
اَلَا
وَاِنِّيْ اُوْتِيْتُ الْقُرْاٰنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ. (رواه ابو داود والترمذي)
"Ingatlah
bahwasanya saya sudah diberi Qur'an dan disertai dengan yang sebangsanya
(sunah) itu." (HR. Abu Dawud dan At-Turmudzi)
Selanjutnya firman Allahswt.:
وَمَاۤ
اٰتٰكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا. (الحشر: ٧)
"Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah."(QS. Al-Hasyr/59:
7)
Di ayat lain Allah swt.berfirman:
مَنْ
يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللهَ. (النساء: ٨٠)
"Barang
siapa mentaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah." (QS. An-Nisã'/4: 80)
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa
sunah adalah merupakan hujjah kedua sesudah Al-Qur'an yang dapat dijadikan
sumber hukum.
C. IJMA’
1. Pengertian Ijma’
Ijma' menurut bahasa, artinyasepakat, setuju atau sependapat. Sedang menurut
istilah ialah:
اِتِّفَاقُ
مُجْتَهِدِيْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ
فِيْ عَصْرٍ مِنَ الْاَعْصَارِ عَلٰى اَمْرٍ مِنَ
الْاُمُوْرِ.
"Kebulatan
pendapat semua ahli ijtihad umat Muham-mad, sesudah wafatnya pada suatu masa,
tentang suatu perkara (hukum)."
2. Pembagian Ijma’
Ijma' umat itu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Ijma' Qauli
Ijma' qauli (ucapan); yaitu ijma' di mana para ulama yang ahli ijtihad ijtihad
menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma' ini juga disebut
dengan ijma' qath'i.
b. Ijma’
Sukuti
Ijma' sukuti (diam); ialah diamnya para mujtahid terhadap suatu persoalan,
mereka tidak mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu bukan
karena takut atau malu.Ijma' ini disebut juga ijma' dzanni.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa suatu hukum yang ditetapkan oleh hakim
yang berkuasa, dan didiamkan oleh para ulama, belum dapat dijadikan sebagai
hujjah.Akan tetapi suatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang faqih, lalu
didiamkan oleh para ulama yang lain, maka dapat dipandang sebagai ijma'.
Disamping ijma' umat tersebut, masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu
(1).Ijma' sahabat, (2).Ijma' ulama Madinah, (3).Ijma ulama Kufah, (4).Ijma'
khulafaur rasyidin yang empat, (5).Ijma' Abu Bakar dan Umar, (6).Ijma itrah,
yakni ahli bait atau golongan Syi‘ah.
3. PeriodisasiIjma'
Jika kita melihat adanya macam-macam ijma', maka ditinjau dari segi masanya
ijma' dapat dibagi menjadi dua, yaitu pada masakhulafaur rasyidin dan masa
sesudahnya.
a. Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin
Ijma' sahabat yang dimaksud ialah zaman khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali. Ijma' mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan
orang lagi, sebab Nabi sendiri memerintahkan sebagaimana sabdanya:
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ. (رواه ابو داود وغيره)
Hendaklah kamu
berpegang kepada cara-caraku dan cara-cara khulafa'ur rasyidin."(HR. Abu Dawud dan lain-lain)
b. Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin
Zaman sesudah khulafa'ur rasyidin, yaitu tatkala Islam telah meluas dan
para fuqaha di kalangan sahabat banyak yang pindah ke negeri Islam yang baru
dan telah lahir fuqaha dari kalangan tabi‘in yang tidak sedikit.Ditambah lagi adanya
pertentangan politik, maka pada zaman ini dirasa sukar terjadinya suatu ijma'.
Kalau pada zaman tabi‘in saja sudah sukar akan terjadinya ijma', maka
lebih-lebih zaman sekarang di mana para ulama telah tersebar luas ke seluruh
pelosok.Sedang sahnya ijma' ialah bergantung pada kebulatan pendapat semua mujtahid
(ahli ijtihad).
Untuk mewujudkan ini, maka kiranya perlu penyelidikan: (a). Siapakah yang
berhak disebut ahli ijtihad? (b). Menemukan pendapat mujtahid yang satu, dan
disetujui oleh mujtahid yang lain. Soal ini tidak mungkinterjadi, sebab
siapakah yang berhak disebut mujtahid?Dan siapakah yang dapat menyelidiki
dengan mengambil jawaban tiap-tiap soal, telah disetujui dan disepakati oleh
tiap-tiap ahli ijtihad?
Karena itu jika kita memahami pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang
mengatakan: "Barang siapa mendakwa atau mengaku terjadinya ijma' (sesudah
zaman sahabat), berarti ia berdusta." Maka apabila seseorang dihadapkan pada hal
demikian, ia cukupmengatakan: "Aku tidak mengetahui, apakah ada orang yang
menyalahi paham ini, karena boleh jadi ada, namun aku belum mengetahuinya."
Ringkasnya, terjadinya ijma' menurut konsepsi ahli ushul fiqih sesudah
zaman sahabat tidak mungkin terjadi. Tidak mungkinnya ini hanyasebatas pada
pelaksanaannya, tanpa menyinggung prinsip terjadinya ijma', meskipun dalam
bentuk lain.
Ijma' yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma' dari
keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama yang mewakili segala lapisan
masyarakatnya, untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka.Mereka itulah
yang dianggapsebagai ulil amri atau ahlil halli wal aqdi.Merekadiberi
hak oleh syariat Islam untuk membuat undang-undang yang belum terdapat dalam
syara'.Keputusan mereka wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan
dengan nas syariat yang jelas, tetapi kalau berlawanan dengan nas syariat, maka
betapa dan bagaimanapun juga keputusan itu tetap batal, dan tidak boleh
ditetapkan sebagai hukum.
4. Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran yang kuat, sebab ijma'
bukanlah dalil yang berdiri sendiri.Sandaran ijma' adakalanya dalil yang qath'i,
yaitu Al-Qur'an dan hadis mutawatir, dan adakalanya berupa dalil dzanni
yaitu hadis ahad dan qiyas.Jika sandaran ijma' adalah hadis ahad, maka hadis
ahad tersebut bertambah nilai kekuatannya.
5. Ijma’ Sebagai Hujjah
Ijma' dapat menjadi hujjah (pegangan) dengan sendirinya di tempat yang
tidak didapati dalil (nas), yakni Al-Qur'an dan Al-Hadis.Dan ijma' tidak akan terbentuk
kecuali telah disepakati oleh semua ulama Islam, dan selama tidak menyalahi nas
yang qath'i
(Al-Qur'an dan hadis mutawatir).
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujjahan ijma' ialah bersifat dzanni,
bukan qath'i. Oleh karena ijma' adalah dalil yang bersifatdzanni, maka ia dapat
dijadikan sebagai hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan
i'tikad. Sebab urusan i'tikad (keyakinan)menuntut adanya dalil yang qath'i.
Adapun kehujjahan ijma' itu didasarkan pada Al-Qur'an dan hadis, sebagai
berikut:
Menurut Al-Qur'an:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا
اَطِيْعُوا اللهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء:
٥٩)
"Wahai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu."(QS. An-Nisã'/4: 59)
Yang dimaksud "ulil amri" ialah pemerintah dan para ulama.
Menurut hadis:
لَا
تَجْتَمِعُ اُمَّتِيْ عَلَى الضَّلَالَةِ. (الحديث)
"Umatku tidak bersepakat atas kesesatan."
D. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa artinya, mengukur sesuatu dengan lainnya dan
mempersamakannya.Menurut
istilah, qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan
hukumnya, berdasarkan suatu hukum yang sudah ditentukan oleh nas, disebabkan
adanya persamaan di antara keduanya.
2. Kedudukan Qiyas
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat setelah
Al-Qur'an, Hadis dan Ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
a).
Firman Allah:
فَاعْتَبِرُوْا
يٰۤا اُولِى الْاَبْصَارِ. (الحشر: 2)
"Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan." (QS. Al-Hasyr/59:
2)
I'tibar juga diartikan dengan "Qiyasusy-syai'i bisy-syai'i." yang berarti membandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain.
b).
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud
dan Turmudzi sebagai berikut:
قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِمُعَاذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَمَا بَعَثَهُ اِلَى الْيَمَنِ: كَيْفَ
تَقْضِيْ اِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ: اَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ:
فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.
قَالَ: فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِيْ كِتَابِ اللهِ
؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَلَا اٰلُوْا. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ
وَقَالَ: اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا
يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. (رواه احمد وابو داود والترمذي)
"Sabda
Nabi saw. ketika beliau mengutus Mu‘adz ra. ke Yaman, Nabi saw. bertanya kepadanya, 'Dengan
apa kamu menetapkan perkara yang datang kepadamu?' Kata Mu‘adz, 'Saya memberi keputusan
dengan Kitab Allah.'Nabi bersabda, 'Kalau kamutidak mendapatkan pada Kitab
Allah?'Mu‘adz
menjawab, 'Dengan sunah rasul.'Nabi bertanya lagi, 'Kalau pada Kitab Allah dan
sunah rasul tidak kau dapati?'Mu‘adz menjawab, 'Saya berijtihad dengan pendapat saya dan
saya tidak akan kembali.' Kemudian Rasulullah menepuk dadanya (bergirang hati)
sambil bersabda: 'Al-œamdu lillãhAllah telah memberi
taufiq kepada pesuruh Rasulullah sesuai dengan keridhaan Rasulullah'."(HR. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi yang mereka
me-nyatakan, bahwa qiyas itu masuk ijtihad ra'yu juga).
3. Rukun dan Syarat Qiyas
a. Rukun Qiyas
Rukun
qiyas ada empat, yaitu:
1).
Ashal
(pangkal) yaitu sesuatu yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan (musyabbah
bih).
2).
Furu‘ (cabang), yaitu sesuatu yang diukur atau
diserupakan(musyabbah).
3).
Illat,
yaitu sifat yang menghubungkan antara pangkal dan cabang.
4).
Hukum, sesuatu
yang ditetapkan pada furu‘ sesudah tetap
pada ashal (hukum yang dihasilkan dari qiyas).
Contoh:
Allah telah
mengharamkan arak, karena dapat merusak akal, membinasakan badan, dan menghabiskan
harta.Maka segala minuman yang memabukkan juga dihukumi haram.
Cara menerapkan qiyas dalam contoh ini, yaitu:
¡ Segala minuman yang memabukkan ialah dinamakan
furu‘ ataucabang, artinya sebagai sesuatu yang
diqiyaskan.
¡ Arak ialah yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan atau mengqiyaskan hukum, artinya ia sebagai ashal atau pokok.
¡ Mabuk atau merusak akal, ialah sebagai illat yang
menjadi penghubung atau sebab.
¡ Dari qiyas di atas, maka menghasilkan sebuah
hukum, yaitu segala minuman yang dapat memabukkan hukumnya adalah "haram".
b. Syarat Qiyas
Setelah
kita mengetahui rukun-rukun qiyas yang jumlahnya ada empat macam, yaitu ashal, furu‘, illat dan hukum, maka selanjutnya akan
dijelaskan mengenai syaratn masing-masing.
1). Syarat ashal/pokok
Syarat ashal atau pokok ada 3 macam, yaitu:
a).
Hukum ashal harus masih tetap (berlaku), karena kalau
sudah tidak berlaku lagi (sudah dirubah/dimansukh), maka tidak mungkinfuru‘ berdiri sendiri.
b).
Hukum yang berlaku pada ashal, adalah hukum syara',
karena yang sedang dibahas oleh kita ini hukum syara' pula.
c). Hukum pokok atau ashal tidak merupakan hukum
pengecualian. Seperti sahnya puasa bagi orang yang lupa, meskipun makan dan
minum. Mestinyapuasanya menjadi batal,
sebab sesuatu tidak akanada, apabila berkumpul dengan hal-hal yang meniadakannya.
Tetapi puasanya tetap ada atau sah. Hal ini didasarkan padahadis: "Barang
siapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah
menyelesaikan puasanya. Sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan
minum." (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, maka orang yang
dipaksa membatalkan puasa tidak dapat diqiyaskan dengan orang yang lupa.
2). Syarat-syaratfuru‘ada tiga
a).
Hukum furu‘tidak boleh mendahului hukum ashal. Misalnya
mengqiyaskan wudhu dengan tayamum dalam kewajiban niat dengan alasan bahwa
kedua-duanya sama-sama thaharah. Qiyas semacam ini tidak dapat dibenarkan,
karena wudhu (dalam contoh ini sebagai cabang) disyariatkan sebelum hijrah,
sedangkan tayamum (dalam contoh ini sebagai ashal) disyariatkan sesudah hijrah.
Bila qiyas tersebut dibenarkan, berarti menetapkan hukum sebelum ada illat, yakni
karena wudhu itu berlaku sebelum tayamum.
b).
Illat yang terdapat pada furu‘, hendaknya menyamai illat pada hukum ashal.
c).
Begitu juga hukum yang ada pada furu‘harus sama dengan hukum ashal.
3). Syarat-syarat illat ada
tiga
a).
Hendaknya illat itu harus berturut-turut, artinya jika
illat itu ada, maka dengan sendirinya hukum pun ada.
b).
Sebaliknya apabila hukum ada, illat pun ada.
c). Illat tidak boleh menyalahinas, karena kedudukan illat
tidak dapat mengalahkannya, maka dengan demikian tentu nas lebih dahulu
mengalahkan illat.
Contoh:
Sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan
dapat melakukan nikah tanpa izin walinya (tanpa wali), dengan alasan bahwa perempuan
dapat memiliki dirinya sendiri diqiyaskan dengandiperbolehkannya menjual harta
bendanya sendiri. Qiyas yang demikian ini tidak dapat diterima, karena
berlawanan dengan nashadis Nabi saw.:
اَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِـيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. (رواه ابن
حبان والحاكم)
"Barang
siapa perempuan menikah dengan tidak seizin walinya
(tanpa wali), maka nikahnya batal."(HR. Ibnu Hibban dan Hakim)
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas dapat digolongkan menjadi empat macam yaitu: Qiyas Aulawi, Qiyas
Musawi, Qiyas Dilalah dan Qiyas Syibh.
Qiyas aulawi dan qiyas musawi, biasa disebut dengan qiyas illat, karena
qiyas-qiyas ini mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan
illatnya.
a). Qiyas Aulawi (melebihkan
atau mengutamakan)
Qiyas aulawiialah qiyas yang illatnya dapat menetapkan
adanya hukum, sementara cabangnya lebih pantas menerima hukum daripada
ashal.Seperti haramnya memukul kedua orang tua yang diqiyaskan dengan haramnya
memaki mereka.Karena dilihat dari segi illatnya yaitu menyakiti, maka memukul kedua
orang tua pastinya jauh legih menyakitidaripada hanya sekedar memaki mereka.(Dalam
pelajaran "mafhum" ini disebut dengan "fahwal khithab)".
b). Qiyas Musawi (illat
hukumnya sama)
Qiyas musawiialah qiyas yang illatnya sama dengan illat
qiyas aulawi, hanya saja hukum yang berhubungan dengan cabang (furu‘), kedudukannya setingkat dengan hukum
ashalnya. Seperti qiyas memakan harta benda anak yatim dan membakarnya.Dilihat dari
segi illatnya yaitu sama-sama melenyapkan.(Dalam pelajaran "mafhum"
ini disebut "lahnal khithab)".
c).
Qiyas Dilalah (menunjukkan)
Qiyas dilalahialah qiyas yang illatnya tidak dapat menetapkan
hukum,akan tetapi dapat menunjukkan adanya hukum. Seperti mengqiyaskan wajibnya
zakat harta benda anak-anak yatim dengan wajibnya zakat harta orang dewasa,
dengan alasan yaitu keduanya merupakan harta yang tumbuh.
d). Qiyas Syibh (menyerupai)
Qiyas syibh adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua
pangkal dengan illat yang lebih menyamai.Seperti budak yang mati terbunbuh.
Apakah ia dapat diqiyaskan dengan orang yang merdeka dengan illat yaitu
sama-sama keturunan Adam,atau dapat pula diqiyaskan dengan binatang ternak
karena ia merupakan harta benda yang dapat dimiliki, dijual, dan diwakafkan atau
diwariskan. Dalam hal budak yang mati terbunbuhtentu lebih sesuai tentunya
lebih sesuai diqiyaskan dengan dengan harta benda, karena ia dapat dimiliki, diwariskan
dan lain sebagainya.
Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain: