Ciri ciri Kaum Khawarij Berdasarkan Hadits Sahih
Kelompok fundamental yang sangat berbahaya di dalam Islam diantaranya adalah khawarij. Kelompok ini tidak segan-segan mengkafirkan golongan Islam lain yang tidak sealiran dan berbeda paham dengannya, padahal Islam sendiri mengajarkan bahwa siapapun muslim selagi masih mengikrarkan 2 kalimat syahadat maka ia masih dalam keislamanya.
1. Tekun dan semangan yang sangat luar biasa dalam beribadah tanpa dibarengi pemahaman yang benar.
Kegigihan ekstrim kaum Khawarij dalam beribadah tidak jarang kita humpai ada pada fisik mereka. Abdullah bin Abbas menggambarkan situasi mereka ketika beribadah dahinya hitam karena disebabkann sujud yang lama. Mereka memakai pakaian yang lusuh, wajah mereka pucat karena mereka salat hingga larut malam. (Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, 83). Sayangnya, pengabdian yang luar biasa tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam.
Pada akhirnya mereka merasa bahwa mereka lebih bertakwa dari Rasulullah, seperti Dzul-Quwaisila, dan mereka merasa berhak membunuh Khalifah Utsman, dan mereka yakin bahwa mereka lebih bertakwa dari Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan bahwa mereka yakin bahwa mereka lebih bertakwa dari pada Rasulullah, dan bahwa mereka merasa lebih memiliki kesalehan dibandingkan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Meskipun dia bukan seorang mujtahid di antara para sahabat Nabi, namun dia lebih bertakwa dari semua sahabatnya.
2. Mereka merasa siapa pun yang menentang mereka adalah penentang Kitab Allah.
Khawarij sebagian besar bertindak berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, namun ayat-ayat tersebut dipahami secara dangkal, sehingga tidak memberikan ruang bagi penafsiran berbeda yang sebenarnya merupakan penafsiran yang benar. Misalnya saat memberontak terhadap penguasa, mereka membawakan puisi tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ketika mereka memulai mediasi, mereka menggunakan ayat-ayat yang mengajak mereka kembali ke Al-Qur'an.
Mereka menolak hasil arbitrase dan menuduh kedua belah pihak menunjuk orang sebagai hakim dan bukannya menggunakan Al-Quran sebagai hakim. Padahal aturan arbitrase(penunjukan hakim) juga ada dalam Al-Quran. Wajar jika mereka selalu membawa Al-Qur'an sebagai alat konfirmasi, dan menurut Ibnu Kastir, Khawarij pertama yang berpusat di Halla memiliki 8.000 orang ahli pembacaan Al-Qur'an (Ibnu Kasir, al-Bidaya wan Nihaya, X, 565). Sayangnya, mereka hanya mampu membaca Al-Quran dengan seksama, namun tidak mampu memahami maknanya dengan baik, sehingga Al-Quran yang seharusnya menjadi inspirasi persatuan, justru dijadikan propaganda perpecahan.
Artikel kami yang lain:
Fenomena ini telah diprediksi sejak zaman Sahabat Awal, seperti terlihat pada dialog antara Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas bagaimana umat Islam bisa terpecah belah, padahal Tuhan mereka Esa dan kiblat mereka satu? Ibnu Abbas Abbas menjawab, “Sesungguhnya akan ada suatu kaum yang tidak memahami Al-Qur'an dengan cara yang sama seperti yang kita pahami, mereka akan mempunyai pendapat yang berbeda. (Ibnu Kasir, al-Bidaya wan Nihaya, X, 553).
Mereka menganggap diri mereka sebagai wakil Al-Quran sebelum waktunya, dan siapa pun yang mempunyai pendapat berbeda secara otomatis dianggap penentang Al-Quran. Bagaimanapun juga, penghakiman terhadap orang-orang kafir, musyrik, dan pembunuhan yang sah dapat dengan mudah dialihkan dari mereka ke orang-orang lain, termasuk orang-orang di sekitar mereka sendiri.
3. Pencemaran nama baik umat Islam melalui puisi-puisi yang sebenarnya ditujukan kepada non-Muslim.
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits tentang komentar teman dekat Ibnu Umar tentang Khawarij. Kutipan “Ibn ‘Umar menganggap mereka makhluk Tuhan yang jahat.” Beliau berkata, “Khawarij menggunakan ayat-ayat wahyu untuk mengkritik orang-orang kafir dan kemudian mengubahnya terhadap orang-orang kafir.'' Wahai orang-orang yang beriman. ” Bukhari) Mereka tidak dapat membedakan antara sikap orang beriman terhadap orang beriman lainnya dengan sikap orang beriman terhadap orang kafir yang terus-menerus memerangi umat Islam pada saat itu. Bagi mereka, semua orang dianggap kombatan terhadap umat Islam, karena mereka sendiri adalah umat Islam, hanya kelompoknya saja.
4. Saya sangat curiga terhadap Islam orang lain, sehingga saya suka mengujinya.
Salah satu ciri khas kaum Khawarij adalah mereka menganggap diri mereka sebagai umat Islam yang paling Muslim dan beriman di luar kelompok mereka sendiri. Itu sebabnya mereka suka menguji keyakinan orang lain dengan beberapa pertanyaan. Imam bin Shirin berkata: ``Jika kamu bertanya kepada saudara laki-laki, Apakah kamu beriman?' Pertanyaannya mirip dengan kaum Khawari yang suka menguji. Itu ujian yang sesat.''
5. Memberontak terhadap penguasa yang beda pemahaman dengan mereka.
Kaum Khawarij terpecah menjadi banyak faksi, namun di antara ajaran universal mereka adalah kewajiban memberontak terhadap penguasa yang mereka yakini melanggar Sunnah. Asy-Syahrastani menerangkan perihal ini sebagai berikut:
ويجمعهم القول بالتبري من عثمان وعلي رضي الله عنهما، ويقدمون ذلك على كل طاعة، ولا يصححون المناكحات إلا على ذلك، ويكفرون أصحاب الكبائر ويرون الخروج على الإمام إذا خالف السنة حقا واجبا
“Mereka semua dikumpulkan dalam satu pendapat yang sama dengan berlepas dari Utsman dan Ali radiyallahu ‘anhuma, mendahulukan hal tersebut dari semua ketaatan, tidak menganggap sah sebuah pernikahan kecuali atas berlepas diri itu, mengafirkan pelaku dosa besar dan menganggap memberontak pada Imam ketika berlawanan dengan sunnah sebagai suatu kebenaran yang wajib dilakukan.” (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 115).
Sedangkan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, memberontak pada penguasa adalah haram selama penguasa tersebut tak menampakkan kekafiran yang nyata. Hal ini berdasarkan hadits:
فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Ubadah melanjutkan; di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah, agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat, saat giat maupun malas, dan saat kesulitan maupun kesusahan, lebih mementingkan urusan bersama, serta agar kami tidak mencabut wewenang dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang pada kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah.” (HR. Bukhari)
Bahkan penguasa yang zalim dan korup sekalipun dianggap masih lebih baik daripada terjadi pertumpahan darah (fitnah) yang berlangsung lama. Para sahabat Nabi Amr bin Ash berkata kepada putranya: “Wahai anakku, penguasa yang adil lebih baik dari pada air bah, singa lebih baik dari pada seorang tiran, namun seorang tiran tetap lebih baik dari pada pertumpahan darah yang terus menerus.” (Ibnu Asakir, Tarif Dimasik, XLVI, 184).
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete