ETIKA BERTAMU SESUAI SYARIAT ISLAM
Sahabat syariatkita, Islam adalah agama yang sangat komprehensif
dalam upaya menciptakan kemaslahatan bagi umatnya. Predikat tersebut
diantaranya dapat kita lihat dalam hubungan sosial (muamalah dan
muasyaroh) antar sesama dimana Islam begitu menekankan kepada umatnya agar
senantiasa berpegang teguh pada akhlak dan etika Islam dalam setiap
aktifitasnya. Salah satu etika Islam yang sangat penting kita ketahui yaitu
pada tatacara bertamu.
Etika bertamu dalam Islam sebagaimana tuntunan yang
diajarkan oleh baginda Agung Rasulullah diantaranya adalah mengucapkan salam,
berjabat tangan, menjaga pandangan dan memperhatikan waktu berkunjung. Mengucapkan
salam lazim dilakukan ketika seorang muslim saling bertemu dengan muslim lainnya,
yang selanjutnya disusul dengan saling berjabatan. Sungguh indah Islam mengatur
dan mengajarkan tatacara umatnya dalam bersosialisai. Lebih jelasnya etika
dalam bertamu dapat saya jelaskan sebagai berikut:
Mengucapkan Salam
Terkait
dengan hal ini, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 61
sebagai berikut:
... فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا
فَسَلِّمُوا عَلىَ اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللهِ مُبَرَكَةً طَيِّبةً
"......maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah
(ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi
salam) kepada dirimu sendiri. Salam yang ditetapkan dari sisi Alah, yang diberi
berkah lagi baik.”
Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa ketika kita hendak
memasuki rumah maka adab yang pertama kali sebagaimana diajarkan oleh Allah
adalah mengucapkan salam. Salam yang lazim kita kenal dengan lafal "asslaamu’alaikum”
mengandung makna penghormatan, keselamatan, kabar gembira dan juga kemuliaan.
Salam yang diucapkan ketika bertamu mengandung arti memberikan penghornatan
kepada penghuni rumah.
Tuntunan mengucapkan salam ketika hendak memasuki rumah
selain terdapat di dalam Al-Qur’an sebagaimana di atas, juga terdapat dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنِ
كَثِيْرٍ، أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ عَوْفٍ عَنْ أَبِيْ رَجَاءٍ
عَنْ عِمْرَانِ بْنِ حُصَيْنٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النّبيّ صلّى الله عليه
وسلّم فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, فَرَدَّ عَلَيْهِ، ُثمَّ جَلَسَ، فَقَالَ
النبيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَشْراً" ثُمَّ جَاءَ اَخَرُ
فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَرَدَّ عَلَيْهِ، فَجَلَسَ فَقَالَ:
"عِشْرُوْنَ" " ثُمَّ جَاءَ اَخَرُ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، فَرَدَّ عَلَيْهِ، فَجَلَسَ فَقَالَ: "ثَلَاثُوْنَ"
"Muhammad ibnu Katsir bercerita kepadaku, Jakfar bin
Sulaiman memberi kabar kepadaku dari sahabat Auf, dari Abi Rojak, dari Sahabat
Imron bin Husein dimana beliau bersabda, "ada seseorang datang kepada Nabi
SAW. dan mengucapkan, "asslaamu’alaikum”. Dijawab oleh Nabi kemudian
beliau duduk; lalu beliau bersabda, "sepuluh". Tak selang berapa lama
datang lagi seseorang kepada Nabi dan mengucapkan, "asslaamu’alaikum
warahmatullah”, salam itupun dijawab oleh Nabi, kemudian beliau duduk
(kembali); kemudian beliau bersabda, "dua puluh”, setelah itu datang lagi
seseorang dan mengucapkan, "assalaamu’alaikum warah matullahi wabarakaatuh”,
salam itupun dijawab oleh Nabi dan beliaupun lalu duduk (kembali); kemudian
beliau bersabda, "tiga puluh". (HR. Abu Daud dan Turmudzi).”
Dari hadis di atas telah jelas bahwasanya ketika kita
hendak bertamu atau menemui seseorang kita diajarkan supaya mengucapkan salam
terlebih dahulu kepada orang yang kita temui. Dengan mengucapkan salam maka
pertemuan menjadi barokah dan keselamatan bagi orang yang berada di majlis
ataupun tersebut.
Di
sisi lain, hadis di atas juga mengandung pengertian bahwa orang yang salamnya
lebih lengkap, maka ia mendapatkan pahala lebih banyak dibandingkan orang yang
salamnya lebih ringkas, dengan kata lain, sedikit banyaknya pahala salam
bergantung dengan lengkap tidaknya salam yang kita ucapkan.
Bentuk salam atau penghormatan sebagaimana dalam hadis di
atas adalah lafal "asslaamu’alaikum". Sedangkan jawaban dari
salam tersebut adalah "wa’alaikumu salam warahmatullah”. Apabila
yag memberi salam mengucapkan dengan kalimat lebih seperti, "asslaamu’alaikum
warahmatullah”, maka kewajiban orang yang diberi salam yaitu menjawab
dengan jawaban yang lebih pula seperti "wa’alaikum salam warahmatullah
wabarakaatuh”. Hal ini sebagaimana firman Allah:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ
بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا اَوْ رُدُّوْهَا ِانَّ اللهَ كاَنَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا.
”Apabila
kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik atau balaslah (dengan balasan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu”(Q.S. An-Nisa’4:86).
Mengenai etika bertamu, disebutkan
dalam hadis:
حَدَّثَنَا اَبُوْ بَكْرِ بْنِ اَبِىْ شَيْبَةَ، ثَنَا أَبُواْلاَحْوَص، عَنْ
رِبْعِيّ قَالَ: ثَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ عَامِرٍ أَنَّهُ اِسْتَأْذَنَ عَلَى
النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم وَهُوَ فِيْ بَيْتٍ فَقَالَ: اَلَجُّ؟ فَقَالَ
النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم لِخَادِمِهِ: اُخْرُجْ اِلَى هَذاَ فَعَلِّمْهُ
الْاِسْتِئْذَانَ، فَقاَلَ لَهُ، قُلْ اَلسَّلاَمُ عَليَكُمْ، أَأَدْخُلُ؟ فَسَمَحَهُ
الرَّجُلُ فَقاَلَ: اَلسَّلاَمٌ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟ فَأَذَّنَ لَهُ النَّبيُّ
صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّمَ فَدَخَلَ
Abu Bakar bin Syaibah bercerita kepada
kami, Abu Ahwas bercerita kepada kami dari Sahabat Rib’iy beliau berkata, bahwasanya
ada seorang laki-laki dari Bani Amir meminta izin untuk masuk ke rumah
Rasulallah SAW, sedangkan beliau saat itu sedang berada di dalam rumah.
Laki-laki itu berkata, “bolehkah saya masuk? Rasulallah SAW berkata kepada
pembantunya, “keluarlah dan temui orang itu, dan ajarilah meminta izin.”
Pembantu itupun keluar dan berkata kepada laki-laki tersebut, “ucapkanlah
Asslaamu’alaikum, bolehkan saya masuk?” laki-laki itu mendengarkan, kemudian
berkata, assalaamu’alaikum, bolehkah saya masuk? Lalu Nabi SAW pun
mengijinkannya, dan masuklah laki-laki itu.”
Hal lain yang perlu
diperhatikan bagi seorang tamu sekalipun ia suddah bertemu dan bahkan
bertatapan muka adalah, ia harus tetap meminta izin dan mengucapkan salam. Hal
ini dikarenakan, tatapan muka dan pandangan bukanlah berarti izin dari pemilik
rumah. Tamu yang hendak masuk di dalam rumah orang lain jika telah meminta izin
tiga kali, dan tidak ada jawaban dari penghuni rumah atau tidak diizinkan, maka
hendaklah ia pergi meninggalkan rumah tersebut. Kalau memang agendanya dirasa
sangat penting, maka jadwalkanlah di waktu atau di hari yang lain.
Setelah tamu sampai di halaman
rumah, hendaklah ia menghindar dari hal-hal yang kurang etis seperti mengintip
melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui atau memastikan
ada tidaknya penghuni rumah. Hal tidak etis lain yang perlu dihindari oleh
orang yang ingin bertamu adalah hendaknya ia tidak menghadap ke arah pintu, akan
tetapi berdirilah di sebelah pintu bisa disebelah kanan atau kiri. Jikalau tuan
rumah menanyakan nama, maka tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban “saya” akan
tetapi jawablah dengan nama terang.
Berjabat Tangan (Mushofahah)
Setelah salam, hal yang tidak kalah penting dilakukan oleh
seorang yang hendak bertamu adalah melakukan mushofahah atau berjabat
tangan atau bersalaman. Imam Bukhori dalam sebuah hadis meriwayatkan:
َحدَّثنَاَ يَحْيَى بْنِ
سُلَيْمَانَ قَالَ: حَدَّثَنِىْ ابْنُ وَهْبٍ قَالَ: اَخْبَرَنِىْ حَيْوَةَ قَالَ:
حَدَّثَنِىْ اَبُوْ عُقَيْلٍ زُهْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ سَمِعَ جَدَّهُ عُبْدَ اللهِ
بْنِ هِشَاٍم قَالَ: كُنَّا مَعَ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم وَهُوَ اَخِذٌ بِيَدِ
عُمَرَابْنِ الْخَطَّابِ
”Yahya
bin Sulaiman bercerita kepadaku dimana ia berkata, Ibnu Wahb bercerita kepadaku
dimana ia berkata, Haiwah mengabariku dimana ia berkata, Abu Uqail (Zuhroh) bin
Ma’bad mendengar kakeknya, Abdullah bin Hisyam berkata, ”Kami bersama Nabi SAW
dan beliau menjabat tangan Umar bin Khattab.”
Bersalaman menunjukkan rasa saling kasih sayang antar
sesama muslim, bahkan Imam Malik dalam hadisnya menyebutkan bahwa berjabat
tangan akan menghilangkan kedengkian dan penyakit hati. Oleh karena itu
alangkah indahnya manakala hal ini dilakukan bagi orang yang saling berkunjung
dan bertamu.
Al-Barra r.a, meriwayatkan suatu hadis yang menyatakan,
bahwa Rasulallah SAW bersabda;
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ اِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ اَنْ يَفْتَرِقَا
“Dua orang Islam yang bertemu lalu saling berjabat tangan, maka dosa
keduanya diampuni sebelum keduanya berpisah"
Hadis di atas menunjukkan begitu agung dan luar biasanya
manfaat bersalaman. Hal yang mungkin secara kasat mata hanya terlihat tidak
lebih dari sekedar amalan dunia akan tetapi sungguh tinggi nilainya dihadapan
Allah SWT. Oleh karena itu, hadis tersebut sungguh sangat menginspirasi dan
memotivasi kita untuk saling mempererat kualitas persaudaraan dengan cara
berjabat tangan, karena dengan cara inilah nampat kualitas tali ukuwah
islamiyah (persaudaraan sesama muslim).
Hal yang perlu diperhatikan ketika kita bersalaman
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. haruslah dilakukan dengan penuh
penghormatan, perhatian, ketulusan hati, keramahan dan dengan raut muka yang
manis. Laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, kecuali mereka
yang memiliki hubungan kekeluargaan (muhrim).
Dalam sebuah hadis, Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa berjabat
tangan merupakan kesempurnaan dari salam. Oleh karena itu, perhatikanlah muka
orang yang kita salami, hindari memandang obyek lain, karena sikap demikian
dapat menyinggung perasaannya. Hindari pula sikap terburu-buru kalau kita
memang memiliki waktu yang senggang, karena bisa jadi masih ada hal yang mau
disampaikan dari orang yang kita ajak bersalaman. Berjabat tangan dengan
didasari mengharap ridha Allah SWT dan mentaati perintah Rasulullah SAW tentunya
akan memberikan asar atau dampak mendalam kepada orang yang melakukannya.
Karena dengan berjabat tangan maka kebencian akan hilang dari diri kita.
Menjaga Pandangan
Salah satu uswah hasanah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW
yaitu beliau senantiasa menjaga pandangan ketika sedang bertamu atau mendatangi
rumah salah seorang sahabatnya. Hal tersebut beliau lakukan dengan tujuan
memelihara pandangan dari melihat sesuatu yang tidak pantas dilihat dan menjaga
perasaan sang pemilik rumah manakala masih dalam keadaan belum bersiap untuk dikunjungi.
Rasulullah SAW biasanya cenderung menghadapkan wajah beliau ke arah kanan atau
kiri, demi menghindari melihat ke arah pintu yang jika dibuka akan langsung
melihat isi rumah yang mungkin jika hal itu terjadi, pemilik rumah kurang berkenan
akan hal tersebut.
Mengenai hal ini disebutkan dalam sebuah hadis:
ِاطَّلَعَ رَجُلٌ مِنْ حُجُرٍ فِىْ حُجُرِ
النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم مدرى يَحُكُّ بِهِ رَأْسَهُ فَقَال: لَوْ أَعْلَمُ اَنَّكَ
تَنْظُرُ لَطَعَنْتُ بِهِ فِىْ عَيْنَكَ اِنَّمَا جُعِلَ الْاِسْتِئْذَانُ مِنْ اَجْلِ
الْبَصَرِ
“Ada
salah seorang lelaki melihat ke dalam salah satu bilik Nabi SAW, saat itu Nabi
SAW sedang membawa sisir untuk merapikan rambut kepalanya, maka beliau
bersabda, ”seandainya aku tahu kamu melihat tadi, tentu akan aku colikkan sisir
itu ke matamu, karena dijadikannya isti’dzan (mohon ijin bertamu) itu sebagai
penjaga pandangan.”
(HR. Bukhari)
Maksud daripada isti’dzan
sebagaimana hadis di atas adalah agar seseorang yang hendak bertamu itu
terlebih dahulu meminta ijin kepada tuan rumah, yang tentunya agar penghuni
rumah siap dan mengetahui akan adanya tamu. Sehingga jikalau ada tamu yang
tidak meminta ijin kepada pemilik rumah maka sejatinya orang tersebut telah
menyalahi ajaran srayiat. Dengan demikian, seolah-olah isti’dzan (mohon
ijin bertamu) sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW menempati
posisinya sebagai penjaga atau sarana tamu diperbolehkan masuk rumah. Karena
bisa dibayangkan manakala ada tamu yang masuk tanpa izin tentu ia akan dapat
melihat sesuatu (bias benda atau mungkin aurat yang sedang terbuka) yang tidak
ingin diperlihatkan oleh pemilik rumah sehingga hal ini akan menyakitinya.
Dengan demikian, seseorang yang hendak bertamu tidak diperbolehkan
mengintip rumah orang lain. Ia harus tetap menunggu di luar pintu sampai
pemilik rumah meberinya ijin untuk masuk.
Memperhatikan Batasan Waktu Bertamu
Etika yang terakhir bagi seorang yang handak bertamu adalah
ia diperintahkan untuk cerdas mengetahui kapan ia harus bertamu, jangan bertamu
waktunya makan malam misalnya kecuali kalau memang sengaja diundang oleh
pemilik rumah. Jangan pula bertamu terlalu larut malam karena boleh jadi
pemilik rumah sudah mengantuk dan mau istirahat, tetapi karena masih ada tamu
ia tidak enak mengutarakannya. Jangan pula terlalu pagi karena boleh jadi sang
pemilik rumah sedang bersiap untuk berangkat kerja. Dengan kata lain,
memperhatikan waktu bertamu sangat penting dipahami oleh orang yang hendak
bertamu.
Berkenaan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ اَبِيْ شُرَيْحٍ
اَلْكَعْبِيّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.
وَالضِّيَاَفَةُ ثَلاَثَةُ اَيَّامٍ فَمَا ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ
اَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
"Dari Abi Syuraikh Al-Ka’biyyi bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir hendaknya dia menghormati tamunya, izin tinggalnya yaitu sehari
semalam. Adapun hidangan (melayani tamu) itu tiga hari, selebihnya adalah
menjadi sedekah, dan tidak halal baginya jika dia telah menyulitkannya.” (HR. Bukhari)
Dalam hal memberikan jamuan ataupun layanan kepada tamu (diyafah)
tejadi beberapa qoul ulama. Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa menjamu tamu hukumnya sunnah, sedangkan Imam Laits dan Ahmad berendapat
bahwa menjamu hukumnya wajib yaitu selama sehari semalam. Kendati demikian, Imam
Ahmad menjelaskan bahwa jamuan tersebut ditujukan yaitu bagi tamu yang merupakan
orang-orang desa atau nomaden (badui) dan bukan untuk orang kota.
Satu hal yang perlu diperhatikan lagi dalam masalah etika
bertamu yaitu orang yang bertamu hendaknya tahu diri ataupun memiliki kepekaan
terhadap orang yang ia tamui (pemilik rumah). Dalam hal ini, jikalau tamu mengetahui
atau meragukan kondisi keberadaan tuan rumahnya; mungkin kesulitan meteri ataupun
pihak tuan rumah sudah merencanakan untuk kegiatan di luar, maka sebaiknya
tidak tinggal lebih dari tiga hari.
Demikian ulasan mengenai etika bertamu, apabila Anda
mendapati kesalahan dalam konten artikel ini, itu semata-mata karena kedangkalan
pengetahuan kami. Kami juga mohon maaf dan mohon memberikan kritik dan sarannya,
semoga bermanfaat.
Mungkin Anda tertarik dengan artikel kami yang lain:
Reff:
·
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra)
·
Abi Abdillah Muhammad bin
Ismail al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Darul Fikri)
·
Abi Daud Sulaiman bin Asy’ats Sijistani, Sunan
Abi Dawud, (Beirut: Darul Fikri)
·
Shabir Muslich, Terjemah Riyadlus Shalihin II,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra)
·
Haq Anwarul, Bimbingan Remaja Berakhlak Mulia,
(Bandung: Marja)
·
Ilyas Yunahar, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset)
0 Komentar:
Post a Comment