Monday, June 12, 2017

Etika Bertamu Sesuai Syariat

ETIKA BERTAMU SESUAI SYARIAT ISLAM


Sahabat syariatkita, Islam adalah agama yang sangat komprehensif dalam upaya menciptakan kemaslahatan bagi umatnya. Predikat tersebut diantaranya dapat kita lihat dalam hubungan sosial (muamalah dan muasyaroh) antar sesama dimana Islam begitu menekankan kepada umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada akhlak dan etika Islam dalam setiap aktifitasnya. Salah satu etika Islam yang sangat penting kita ketahui yaitu pada tatacara bertamu.
Etika bertamu dalam Islam sebagaimana tuntunan yang diajarkan oleh baginda Agung Rasulullah diantaranya adalah mengucapkan salam, berjabat tangan, menjaga pandangan dan memperhatikan waktu berkunjung. Mengucapkan salam lazim dilakukan ketika seorang muslim saling bertemu dengan muslim lainnya, yang selanjutnya disusul dengan saling berjabatan. Sungguh indah Islam mengatur dan mengajarkan tatacara umatnya dalam bersosialisai. Lebih jelasnya etika dalam bertamu dapat saya jelaskan sebagai berikut:

Mengucapkan Salam

Terkait dengan hal ini, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 61 sebagai berikut:

... فَاِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوا عَلىَ اَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ اللهِ مُبَرَكَةً طَيِّبةً
"......maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri. Salam yang ditetapkan dari sisi Alah, yang diberi berkah lagi baik.”

Berdasarkan ayat di atas, jelaslah bahwa ketika kita hendak memasuki rumah maka adab yang pertama kali sebagaimana diajarkan oleh Allah adalah mengucapkan salam. Salam yang lazim kita kenal dengan lafal "asslaamu’alaikum” mengandung makna penghormatan, keselamatan, kabar gembira dan juga kemuliaan. Salam yang diucapkan ketika bertamu mengandung arti memberikan penghornatan kepada penghuni rumah.
Tuntunan mengucapkan salam ketika hendak memasuki rumah selain terdapat di dalam Al-Qur’an sebagaimana di atas, juga terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنِ كَثِيْرٍ، أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ عَوْفٍ عَنْ أَبِيْ رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانِ بْنِ حُصَيْنٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ, فَرَدَّ عَلَيْهِ، ُثمَّ جَلَسَ، فَقَالَ النبيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَشْراً" ثُمَّ جَاءَ اَخَرُ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَرَدَّ عَلَيْهِ، فَجَلَسَ فَقَالَ: "عِشْرُوْنَ" " ثُمَّ جَاءَ اَخَرُ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، فَرَدَّ عَلَيْهِ، فَجَلَسَ فَقَالَ: "ثَلَاثُوْنَ"

"Muhammad ibnu Katsir bercerita kepadaku, Jakfar bin Sulaiman memberi kabar kepadaku dari sahabat Auf, dari Abi Rojak, dari Sahabat Imron bin Husein dimana beliau bersabda, "ada seseorang datang kepada Nabi SAW. dan mengucapkan, "asslaamu’alaikum”. Dijawab oleh Nabi kemudian beliau duduk; lalu beliau bersabda, "sepuluh". Tak selang berapa lama datang lagi seseorang kepada Nabi dan mengucapkan, "asslaamu’alaikum warahmatullah”, salam itupun dijawab oleh Nabi, kemudian beliau duduk (kembali); kemudian beliau bersabda, "dua puluh”, setelah itu datang lagi seseorang dan mengucapkan, "assalaamu’alaikum warah matullahi wabarakaatuh”, salam itupun dijawab oleh Nabi dan beliaupun lalu duduk (kembali); kemudian beliau bersabda, "tiga puluh". (HR. Abu Daud dan Turmudzi).”

Dari hadis di atas telah jelas bahwasanya ketika kita hendak bertamu atau menemui seseorang kita diajarkan supaya mengucapkan salam terlebih dahulu kepada orang yang kita temui. Dengan mengucapkan salam maka pertemuan menjadi barokah dan keselamatan bagi orang yang berada di majlis ataupun tersebut.
Di sisi lain, hadis di atas juga mengandung pengertian bahwa orang yang salamnya lebih lengkap, maka ia mendapatkan pahala lebih banyak dibandingkan orang yang salamnya lebih ringkas, dengan kata lain, sedikit banyaknya pahala salam bergantung dengan lengkap tidaknya salam yang kita ucapkan.

Bentuk salam atau penghormatan sebagaimana dalam hadis di atas adalah lafal "asslaamu’alaikum". Sedangkan jawaban dari salam tersebut adalah "wa’alaikumu salam warahmatullah”. Apabila yag memberi salam mengucapkan dengan kalimat lebih seperti, "asslaamu’alaikum warahmatullah”, maka kewajiban orang yang diberi salam yaitu menjawab dengan jawaban yang lebih pula seperti "wa’alaikum salam warahmatullah wabarakaatuh”. Hal ini sebagaimana firman Allah:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا اَوْ رُدُّوْهَا ِانَّ اللهَ كاَنَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا.

”Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan balasan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”(Q.S. An-Nisa’4:86).

Mengenai etika bertamu, disebutkan dalam hadis:
حَدَّثَنَا اَبُوْ بَكْرِ بْنِ اَبِىْ شَيْبَةَ، ثَنَا أَبُواْلاَحْوَص، عَنْ رِبْعِيّ قَالَ: ثَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ عَامِرٍ أَنَّهُ اِسْتَأْذَنَ عَلَى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم وَهُوَ فِيْ بَيْتٍ فَقَالَ: اَلَجُّ؟ فَقَالَ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم  لِخَادِمِهِ: اُخْرُجْ اِلَى هَذاَ فَعَلِّمْهُ الْاِسْتِئْذَانَ، فَقاَلَ لَهُ، قُلْ اَلسَّلاَمُ عَليَكُمْ، أَأَدْخُلُ؟ فَسَمَحَهُ الرَّجُلُ فَقاَلَ: اَلسَّلاَمٌ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟ فَأَذَّنَ لَهُ النَّبيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّمَ  فَدَخَلَ

Abu Bakar bin Syaibah bercerita kepada kami, Abu Ahwas bercerita kepada kami dari Sahabat Rib’iy beliau berkata, bahwasanya ada seorang laki-laki dari Bani Amir meminta izin untuk masuk ke rumah Rasulallah SAW, sedangkan beliau saat itu sedang berada di dalam rumah. Laki-laki itu berkata, “bolehkah saya masuk? Rasulallah SAW berkata kepada pembantunya, “keluarlah dan temui orang itu, dan ajarilah meminta izin.” Pembantu itupun keluar dan berkata kepada laki-laki tersebut, “ucapkanlah Asslaamu’alaikum, bolehkan saya masuk?” laki-laki itu mendengarkan, kemudian berkata, assalaamu’alaikum, bolehkah saya masuk? Lalu Nabi SAW pun mengijinkannya, dan masuklah laki-laki itu.”

Hal lain yang perlu diperhatikan bagi seorang tamu sekalipun ia suddah bertemu dan bahkan bertatapan muka adalah, ia harus tetap meminta izin dan mengucapkan salam. Hal ini dikarenakan, tatapan muka dan pandangan bukanlah berarti izin dari pemilik rumah. Tamu yang hendak masuk di dalam rumah orang lain jika telah meminta izin tiga kali, dan tidak ada jawaban dari penghuni rumah atau tidak diizinkan, maka hendaklah ia pergi meninggalkan rumah tersebut. Kalau memang agendanya dirasa sangat penting, maka jadwalkanlah di waktu atau di hari yang lain.
Setelah tamu sampai di halaman rumah, hendaklah ia menghindar dari hal-hal yang kurang etis seperti mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui atau memastikan ada tidaknya penghuni rumah. Hal tidak etis lain yang perlu dihindari oleh orang yang ingin bertamu adalah hendaknya ia tidak menghadap ke arah pintu, akan tetapi berdirilah di sebelah pintu bisa disebelah kanan atau kiri. Jikalau tuan rumah menanyakan nama, maka tamu tidak boleh menjawab dengan jawaban “saya” akan tetapi jawablah dengan nama terang.

Berjabat Tangan (Mushofahah)

Setelah salam, hal yang tidak kalah penting dilakukan oleh seorang yang hendak bertamu adalah melakukan mushofahah atau berjabat tangan atau bersalaman. Imam Bukhori dalam sebuah hadis meriwayatkan:

َحدَّثنَاَ يَحْيَى بْنِ سُلَيْمَانَ قَالَ: حَدَّثَنِىْ ابْنُ وَهْبٍ قَالَ: اَخْبَرَنِىْ حَيْوَةَ قَالَ: حَدَّثَنِىْ اَبُوْ عُقَيْلٍ زُهْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ سَمِعَ جَدَّهُ عُبْدَ اللهِ بْنِ هِشَاٍم قَالَ: كُنَّا مَعَ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم وَهُوَ اَخِذٌ بِيَدِ عُمَرَابْنِ الْخَطَّابِ

”Yahya bin Sulaiman bercerita kepadaku dimana ia berkata, Ibnu Wahb bercerita kepadaku dimana ia berkata, Haiwah mengabariku dimana ia berkata, Abu Uqail (Zuhroh) bin Ma’bad mendengar kakeknya, Abdullah bin Hisyam berkata, ”Kami bersama Nabi SAW dan beliau menjabat tangan Umar bin Khattab.”

Bersalaman menunjukkan rasa saling kasih sayang antar sesama muslim, bahkan Imam Malik dalam hadisnya menyebutkan bahwa berjabat tangan akan menghilangkan kedengkian dan penyakit hati. Oleh karena itu alangkah indahnya manakala hal ini dilakukan bagi orang yang saling berkunjung dan bertamu.
Al-Barra r.a, meriwayatkan suatu hadis yang menyatakan, bahwa Rasulallah SAW bersabda;
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ اِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ اَنْ يَفْتَرِقَا

“Dua orang Islam yang bertemu lalu saling berjabat tangan, maka dosa keduanya diampuni sebelum keduanya berpisah"

Hadis di atas menunjukkan begitu agung dan luar biasanya manfaat bersalaman. Hal yang mungkin secara kasat mata hanya terlihat tidak lebih dari sekedar amalan dunia akan tetapi sungguh tinggi nilainya dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu, hadis tersebut sungguh sangat menginspirasi dan memotivasi kita untuk saling mempererat kualitas persaudaraan dengan cara berjabat tangan, karena dengan cara inilah nampat kualitas tali ukuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim).
Hal yang perlu diperhatikan ketika kita bersalaman sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. haruslah dilakukan dengan penuh penghormatan, perhatian, ketulusan hati, keramahan dan dengan raut muka yang manis. Laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, kecuali mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan (muhrim).
Dalam sebuah hadis, Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa berjabat tangan merupakan kesempurnaan dari salam. Oleh karena itu, perhatikanlah muka orang yang kita salami, hindari memandang obyek lain, karena sikap demikian dapat menyinggung perasaannya. Hindari pula sikap terburu-buru kalau kita memang memiliki waktu yang senggang, karena bisa jadi masih ada hal yang mau disampaikan dari orang yang kita ajak bersalaman. Berjabat tangan dengan didasari mengharap ridha Allah SWT dan mentaati perintah Rasulullah SAW tentunya akan memberikan asar atau dampak mendalam kepada orang yang melakukannya. Karena dengan berjabat tangan maka kebencian akan hilang dari diri kita.

Menjaga Pandangan

Salah satu uswah hasanah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu beliau senantiasa menjaga pandangan ketika sedang bertamu atau mendatangi rumah salah seorang sahabatnya. Hal tersebut beliau lakukan dengan tujuan memelihara pandangan dari melihat sesuatu yang tidak pantas dilihat dan menjaga perasaan sang pemilik rumah manakala masih dalam keadaan belum bersiap untuk dikunjungi. Rasulullah SAW biasanya cenderung menghadapkan wajah beliau ke arah kanan atau kiri, demi menghindari melihat ke arah pintu yang jika dibuka akan langsung melihat isi rumah yang mungkin jika hal itu terjadi, pemilik rumah kurang berkenan akan hal tersebut.
Mengenai hal ini disebutkan dalam sebuah hadis:
ِاطَّلَعَ رَجُلٌ مِنْ حُجُرٍ فِىْ حُجُرِ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم مدرى يَحُكُّ بِهِ رَأْسَهُ فَقَال: لَوْ أَعْلَمُ اَنَّكَ تَنْظُرُ لَطَعَنْتُ بِهِ فِىْ عَيْنَكَ اِنَّمَا جُعِلَ الْاِسْتِئْذَانُ مِنْ اَجْلِ الْبَصَرِ

“Ada salah seorang lelaki melihat ke dalam salah satu bilik Nabi SAW, saat itu Nabi SAW sedang membawa sisir untuk merapikan rambut kepalanya, maka beliau bersabda, ”seandainya aku tahu kamu melihat tadi, tentu akan aku colikkan sisir itu ke matamu, karena dijadikannya isti’dzan (mohon ijin bertamu) itu sebagai penjaga pandangan.” (HR. Bukhari)

Maksud daripada isti’dzan sebagaimana hadis di atas adalah agar seseorang yang hendak bertamu itu terlebih dahulu meminta ijin kepada tuan rumah, yang tentunya agar penghuni rumah siap dan mengetahui akan adanya tamu. Sehingga jikalau ada tamu yang tidak meminta ijin kepada pemilik rumah maka sejatinya orang tersebut telah menyalahi ajaran srayiat. Dengan demikian, seolah-olah isti’dzan (mohon ijin bertamu) sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW menempati posisinya sebagai penjaga atau sarana tamu diperbolehkan masuk rumah. Karena bisa dibayangkan manakala ada tamu yang masuk tanpa izin tentu ia akan dapat melihat sesuatu (bias benda atau mungkin aurat yang sedang terbuka) yang tidak ingin diperlihatkan oleh pemilik rumah sehingga hal ini akan menyakitinya.
Dengan demikian, seseorang yang hendak bertamu tidak diperbolehkan mengintip rumah orang lain. Ia harus tetap menunggu di luar pintu sampai pemilik rumah meberinya ijin untuk masuk.

Memperhatikan Batasan Waktu Bertamu

Etika yang terakhir bagi seorang yang handak bertamu adalah ia diperintahkan untuk cerdas mengetahui kapan ia harus bertamu, jangan bertamu waktunya makan malam misalnya kecuali kalau memang sengaja diundang oleh pemilik rumah. Jangan pula bertamu terlalu larut malam karena boleh jadi pemilik rumah sudah mengantuk dan mau istirahat, tetapi karena masih ada tamu ia tidak enak mengutarakannya. Jangan pula terlalu pagi karena boleh jadi sang pemilik rumah sedang bersiap untuk berangkat kerja. Dengan kata lain, memperhatikan waktu bertamu sangat penting dipahami oleh orang yang hendak bertamu.
Berkenaan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ اَبِيْ شُرَيْحٍ اَلْكَعْبِيّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ. وَالضِّيَاَفَةُ ثَلاَثَةُ اَيَّامٍ فَمَا ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ اَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ

"Dari Abi Syuraikh Al-Ka’biyyi bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia menghormati tamunya, izin tinggalnya yaitu sehari semalam. Adapun hidangan (melayani tamu) itu tiga hari, selebihnya adalah menjadi sedekah, dan tidak halal baginya jika dia telah menyulitkannya.” (HR. Bukhari)

Dalam hal memberikan jamuan ataupun layanan kepada tamu (diyafah) tejadi beberapa qoul ulama. Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa menjamu tamu hukumnya sunnah, sedangkan Imam Laits dan Ahmad berendapat bahwa menjamu hukumnya wajib yaitu selama sehari semalam. Kendati demikian, Imam Ahmad menjelaskan bahwa jamuan tersebut ditujukan yaitu bagi tamu yang merupakan orang-orang desa atau nomaden (badui) dan bukan untuk orang kota.
Satu hal yang perlu diperhatikan lagi dalam masalah etika bertamu yaitu orang yang bertamu hendaknya tahu diri ataupun memiliki kepekaan terhadap orang yang ia tamui (pemilik rumah). Dalam hal ini, jikalau tamu mengetahui atau meragukan kondisi keberadaan tuan rumahnya; mungkin kesulitan meteri ataupun pihak tuan rumah sudah merencanakan untuk kegiatan di luar, maka sebaiknya tidak tinggal lebih dari tiga hari.
Demikian ulasan mengenai etika bertamu, apabila Anda mendapati kesalahan dalam konten artikel ini, itu semata-mata karena kedangkalan pengetahuan kami. Kami juga mohon maaf dan mohon memberikan kritik dan sarannya, semoga bermanfaat.
Mungkin Anda tertarik dengan artikel kami yang lain:

etika bertamu sesuai syariat islam

Reff:
·           Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra)
·           Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Darul Fikri)
·           Abi Daud Sulaiman bin Asy’ats Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Darul Fikri)
·           Shabir Muslich, Terjemah Riyadlus Shalihin II, (Semarang: PT. Karya Toha Putra)
·           Haq Anwarul, Bimbingan Remaja Berakhlak Mulia, (Bandung: Marja)
·           Ilyas Yunahar, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset)

0 Komentar:

Post a Comment

Dapatkan Artikel Kami Gratis

Ketik email Anda di sisi:

Kami akan mengirimkannya untuk Anda

Quality Content